twitter facebook instagram pinterest linkedin

Sky Cantiki

Menulis untuk hidup

Judul tulisan ini adalah jenis kelamin yang sempat kubenci.


Namun aku adalah seorang perempuan.

Menjadi seorang perempuan pernah begitu aku sesali. Segala yang menempel di tubuh dan jiwaku sebagai seorang perempuan selalu aku sangkal dan musuhi. Rambut panjang, pantat montok, payudara yang menumbuh, dan femininitas.

Aku tak pernah sudi merawat rambutku hingga panjang dan menjuntai seperti perempuan kebanyakan. Pernah kupangkas ia dengan gaya potongan lelaki. Aku merasa keren dan berada satu langkah menuju menjadi laki-laki. Tidak hanya itu, aku pernah menekan kuat-kuat payudaraku. Mengapitnya agar tak terlihat tonjolan itu. Rok, gaun, adalah pakaian yang aku benci dan hindari. Aksesoris pernak-pernik tak pernah bertengger di tubuhku. Tidak lupa, warna merah jambu membuatku jijik melihatnya. Aku menjauhkan segala hal yang menurut masyarakat berbau feminin.

Beberapa temanku di sekolah memanggilku dengan sebutan "Abang" karena aku terkenal dengan ketomboianku. Dan beberapa orang menyangkaku sebagai seorang lesbian. Tidak menyukai laki-laki karena memendam kebencian yang teramat kepada lelaki.

Menjadi seorang perempuan pernah begitu aku benci, ketika bapakku menginginkan seorang anak laki-laki.

Tuhan Yang Maha tidak diketahui alasan di balik ketentuan-Nya menakdirkan kesemua saudaraku berjenis kelamin sama: perempuan. Menjadi seorang perempuan adalah sebuah penyesalan dan kesalahan baginya, bagi seseorang yang kukira akan paling menyayangiku sebagai seorang perempuan. Namun baginya, anak laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi. Anak lelaki miliknya adalah "segala-galanya". Sampai aku tak tahu apakah aku masih bisa menganggapnya laki-laki yang penting di hidupku ketika kehadiranku tak menjadi penting baginya hanya karena jenis kelaminku?

Dan kesemua usahaku yang tolol itu dilatarbelakangi dengan harapan akan dapat menggantikan anak laki-laki yang begitu ia harapkan. Menunjukkan kepadanya bahwa aku bisa menjadi apa yang ia mau. Meski aku tidak terang-terangan menyampaikan maksudku itu.

Lama kelamaan pun aku muak. Haruskah aku begitu? Haruskah aku selalu membenci diriku, membenci identitasku ketika yang kuusahakan hanyalah kesia-siaan?

Namun, akhirnya aku menemukan keistimewaan sebagai seorang perempuan yang tak dimiliki kaum adam. 

Seluruh tubuh perempuan seperti seniman yang menghasilkan banyak karya. 


Tujuh tahun lalu aku bukanlah seorang anak perempuan yang dekat dengan ibunya.
Tujuh tahun lalu aku dan mamaku hanya dipenuhi pertengkaran.
Tujuh tahun lalu kami saling salah paham.

Aku tidak terlalu ingat dan menyadari betul kapan persisnya aku jadi akrab dengan Mama dan "kenapa". Mula-mula dua jenis pertanyaan itu selalu aku tanyakan dalam diri ketika sedang melamun dan baru menyadari berbincangan kami yang semakin hangat dan semakin lama kami jarang teribat pertengkaran.

Kapan? Dan mengapa? Apakah tiba-tiba?

Saat itu, ketika aku menjadi remaja tanggung, semua ucapan Mama adalah salah dan bohong belaka, bagiku. Apa yang dibicarakannya tak ingin aku dengar dan percayai. Aku seperti musuhnya yang terang-terangan menyangkal dan menentangnya. Hubungan kami hanya dipenuhi kesalahpahaman dan kemarahan.

Aku ingat betul, aku pernah marah tak beralasan kepada temanku yang selalu mendengarkan ucapan ibunya. Ia selalu bilang, 
"Kata ibuku.." 
"Kata ibuku..."
"Kata ibuku..."
yang membuatku geram.

Setelah aku telusuri lebih dalam perasaanku, marah ini bukanlah marah biasa. Ini adalah kecemburuan yang dibalut kemarahan. Rupanya aku cemburu padanya yang memiliki hubungan baik dengan ibunya, yang pada saat itu aku melihat Mama condong kepada kakak dan adikku. Aku cemburu pada siapapun yang terlihat akrab pada ibunya, bisa berkomunikasi lancar dan dipenuhi tawa hangat, seperti yang kakak dan mamaku lakukan. 

Aku jadi berpikir, apakah yang sebenarnya menyebabkan hubunganku dengan mama tak kunjung membaik dan hangat?

Rupanya kami saling salah paham. Rupanya kami tak saling mendengarkan.

Aku kadang bingung harus menyesali atau mensyukuri tindakan jahatku di masa silam. 

       




        Belum pernah dalam hidupku merasakan ketakutan dan kekhawatiran sebegininya. Berjuta-juta kali lipat dari ketika kecemasan tak beralasan menyerangku. Segala pikiran buruk yang datang dan menumpuk berusaha aku sapu keluar ruang tenang. Tetap berperilaku seperti biasa begitu amat aku paksa, dan ketika berhenti dari kesibukkan duniawi apapun yang buruk kembali menggentayangi.

        Melihat Mama memasuki ruang isolasi tubuhku bergetar bukan main. Tanganku tak mampu melambai saking gemetarnya, saking aku tak memiliki daya untuk berbuat apa-apa. Aku terperangah dengan apa yang baru saja aku dengar. Benarkah kesemua itu? Namun hari itu aku melihat kelelahan yang sangat lelah di mata Mama yang telah lama ia simpan seorang diri. Tubuh yang selalu sigap melakukan sesuatu, tubuh yang bisa melakukan banyak hal itu, seperti sebuah pohon yang diterpa hujan badai. Ambruk. Tumbang.

Aku takut.

Sangat takut.

        Sepanjang jalan aku pulang, tanpa membawa mama di jok belakang, dengan meninggalkan Mama menghuni ruang menyeramkan, air mataku mengalir di tengah kemacetan yang selalu aku terobos di tiap celah yang dapat aku lewati. Di kanan jalan atau kiri trotoar. Aku tidak mampu membayangkan hidup yang masih berantakan ini tanpa sesosok Mama, aku tidak bisa membayangkan betapa halusnya kepingan hatiku jika itu terjadi. Semakin dibayangkan, semakin menyakitkan, semakin banyak bulir-bulir air mata berjatuhan. Semakin kencang kepalaku menggeleng.

        Seketika hanya ada Mama dalam kepala. Dosa-dosa yang kuperbuat padanya, kelembutan hatinya, dan ketegaran jiwanya yang aku tak mengerti mengapa bisa. Begitu banyak luka yang telah ia tambal, seratnya finansial yang ia beri pelumas, dan keinginan buah hati yang satu-satu ia penuhi. Caranya mencinta dan caranya mengagumi anak-anaknya jelas berbeda. Mungkin memang tidak seperti apa yang dimau, namun tiap ibu miliki caranya sendiri. Bahasa cintanya yang pelan-pelan aku pahami, caranya mengagumi dan merindu yang sedikit-sedikit mulai aku ketahui, sungguh semua itu berterbangan di atas kepala.

        Aku takut tak punya cukup waktu untuk menjadi kebanggaannya.

        Sepanjang jalan itu juga aku meminta dengan hati yang tak pernah setulus itu sebelumnya, "Tuhan, jangan ambil Mama dulu." bahkan aku seperti tak mampu mengucapkan itu, aku tak mau mengucapkan kalimat yang menyeramkan itu. Aku menggeleng dan terus menggeleng. Menaruh asa dalam jiwa dan kepala.



Berangkat dari seorang anak yang rajin belajar dan mengerjakan PR sebelum diperintah, aku paling anti disontekin. Waktu SD aku bisa-bisa bikin bangunan tinggi di samping kanan kiri dan depanku dengan buku catatan pelajaran lain kalau ada teman yang melirik-lirik mencurigakan. Apalagi saat ulangan. Nggak ada sedikit pun celah yang bisa mereka intip.

Walaupun begitu, aku tetap bersedia untuk memberi tahu cara pengerjaan suatu soal ke teman yang bertanya dan niat belajar. Karena mereka masih punya effort untuk mengerjakan sendiri dengan cara yang aku beri tahu. Sebenarnya aku nggak pintar-pintar amat, tapi balik lagi ke atas: ku rajin belajar. Rajin pangkal pandai, bukan?

Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Facebook dan gadget sekitar kelas 5 SD. Taraf rajin belajarku menurun. Nggak males banget, masih sesekali belajar, tapi jatuhnya nggak fokus karena pikiranku lari-larian ke mana-mana. Nilai jadi banyak yang turun dan sering sekali HP-ku disita oleh mama supaya aku bisa belajar dengan fokus. Tapi, nggak ngaruh! Malah, aku semakin kepikiran dengan HP-ku itu.

Tahun demi tahun, masuk ke SMP aku semakin jauh dari namanya belajar. Belajar dalam artian baca buku pelajaran seperti yang sebelumnya sering aku lakukan. Mengisi soal di buku LKS di rumah sama sekali nggak pernah. Kerjaanku seharian tiduran sambil main HP. Diomelin sebagaimana bentuk omelan pun nggak mempan, malah cuma bikin aku tambah sebel.

Mulailah aku kebergantungan dengan sontek-menyontek. Iya, kebergantungan, karena sontek-menyontek itu candu. Segala jenis persontekan udah aku lakukan. Mulai dari browsing waktu ujian dan HP-nya aku dudukin atau aku taruh di sepatu, nulis berlembar-lembar materi di HVS dan ketika ujian HVS itu tanpa rasa gelisah sedikit pun aku taruh di atas meja sejajar dengan soal ulangan. Aku ini skeptis untuk nanya jawaban ke orang lain karena belum tentu benar dan orang yang pintar yaaa biasanya nggak mau disontekin (kayak aku dulu) makanya aku tulis materi dan cari jawabannya sendiri.

Perihal ketahuan? Udah seriiing bangeeet. 
Tapi aku kayak bebal aja gitu, nggak merasa bersalah sedikit pun. Malahan aku terlihat nantangin guru yang mergokin dan pasang muka ketus. 

Sampai di saat aku kelas 11 semester 2 dan wali kelasku guru BK. Di kelasku ada yang ketahuan menyontek pakai HP ketika UTS. Saat itu, aku udah mulai jarang nyontek karena mau agak bener aja jadi manusia. Dan kasus itu ada seorang murid yang melapor. Sekelas disidak. Nggak dibentak-bentak sih, tapi justru itu yang bikin aku seketika merasa terketuk. Kurang lebih guruku bilang untuk percaya dan mengandalkan diri sendiri karena orang lain belum tentu benar. Sebenarnya petuah itu udah sering banget aku dengar dulu, tapi baru kali itu rasanya bisa aku cerna dengan baik.
Di akhir, guruku bilang untuk kami semua berjanji ke diri sendiri untuk nggak menyontek. Sadar nggak sadar aku seperti berjanji atau memang udah berjanji untuk berhenti menyontek.

Kalau dipikir-pikir selama ini aku memang skeptis sama orang lain dan udah mengandalkan diri gue sendiri. Tapi, di dalam keburukan. Aku mengandalkan diriku untuk menyontek, bikin strategi sendiri, ketimbang usaha seperti dulu belajar dan mempersiapkan diri untuk ulangan. Dari situ, setiap aku mau menyontek karena aku tahu aku nggak belajar dan nggak tahu apa jawabannya, diriku seakan-akan mengingatkan, "Lu itu kan diberi otak juga, semua manusia punya otak yang sama." 

Albert Einstain sebegitu geniusnya aja cuma menggunakan 2% kemampuan otaknya. Gimana dengan aku yang nggak menyandang gelar genius ini, berarti aku cuma menggunakan otakku 0,000000 nol-nol satu sekian. Berarti aku menyia-nyiakan pemberian Tuhan dan organku sendiri.

Sekitar semester lalu, setelah bertahun-tahun aku menyontek lagi karena saat itu aku ambil kerja part time dan capek banget rasanya nggak punya waktu untuk belajar. Rasanya berdosa banget. Kayak habis melakukan dosa besar. Aku ingkar ke diriku sendiri dan nggak mempercayai kemampuanku. 
Sepanjang koridor aku merasa bersalah dan bertekad nggak mengulangi lagi.

Rasanya aneh melakukan hal yang udah lama sekali nggak aku lakukan, terlebih itu hal buruk.



Di tengah malam yang lengang dengan hati yang tak berisikan, aku menjentikkan jemari ini untuk menulis surat, sedikitnya berisi mengenai apa yang kurasa pada tahun ini, bahkan apa yang tak berhasil aku rasakan. Aku mencoba berbicara kepadaku melalui sebuah surat yang mungkin akan mengingatkanku di waktu yang akan datang: apa-apa saja yang sudah tertinggal dan tergantikan, apa-apa saja yang membiru dan membaru.


Apa kabar?

adalah bentuk pertanyaan sederhana yang paling tidak bisa kaujawab dengan jujur. Sebuah tanya 'apa kabar' seperti memiliki magnet kata 'baik' yang mesti kau jadikan jawaban, tidak peduli bagaimana kondisimu saat itu. 

Apa kabar diriku? Mengapa tak kunjung jujur pada dirimu, pada hatimu, pada ibu jarimu, pada apapun yang menjadikanmu utuh sebagai sebuah tubuh? Sebagai seorang manusia?

Kini kau tahu menjadi manusia setiap harinya tak pernah mudah dan meringan. Kesulitan dan keberatan akan menimpa punggungmu yang telah bungkuk di usia muda. Sejak usia kanak-kanak. Namun dengan adanya angka yang bertambah setiap tahunnya dan belum tertuliskan di nisan, dengan adanya lilin yang masih kau tiup setiap tahunnya, dengan adanya kue keju yang masih kau makan setiap tahunnya, dengan adanya surat dari ibu yang kau baca setiap tahunnya, dengan adanya kado yang kau terima setiap tahunnya, menandakan betapa semakin kokohnya punggung dan bahumu, betapa semakin lapangnya dadamu, betapa semakin ajeknya kakimu, betapa semakin arifnya jiwamu, betapa semakin kuatnya dirimu memilih bertahan di tengah terpaan yang selalu saja mampir.

Untuk diriku, jiwa yang belum bisa disebut pasti seperti apa bentuknya, jiwa yang selalu samar ketika hendak dipotret, jiwa yang selalu berganti-ganti setiap hari, setiap pekan, dan setiap bulan. Maaf aku kerap menggantimu dengan jiwa orang lain yang aku tidak kenal, yang aku idam-idamkan. Kupikir menjadi mereka mengasyikkan, kupikir menjadi apa yang aku mau begitu memuaskan. Rupanya tidak. Namun terima kasih, untuk jiwa yang terus mencari jati dirinya, jiwa yang selalu berusaha pulang setelah melalui perjalanan panjang, jiwa yang tak ingin kehilangan keasliannya, karena itu yang tidak akan pernah bisa ditiru.

Untuk diriku, raga yang kerap kehilangan minat pada apa yang sebelumnya melekat, raga yang kerap bermalas-malas membaca lembar buku, raga yang kerap takut terlibat interaksi dengan orang-orang. Maaf aku masih sering kalah dengan semua rasa itu, masih belum bisa merangkulnya dan tetap berusaha melawan dan tak menjadikannya teman. Namun terima kasih, untuk raga yang bergegas bangkit ketika tahu telah menghabiskan banyak waktu dengan kesia-siaan, raga yang mencicil huruf-huruf di lembar-lembar kertas untuk dilahap habis, raga yang membalas pesan dengan gurauan-gurauan natural, karena tanpa itu semua tidak akan terjadi apa-apa.

Untuk diriku, pikiran yang tak terkendali melayang-layang jauh ke suatu tempat yang tak seharusnya, pikiran yang mengandai-andai sesuatu di belakang bisa kubelokkan untuk menghindari hari ini. Maaf bayang-bayangku masih tertinggal di sana dengan separuh hati yang tergeletak seluruhnya retak, masih sulit bagiku memaafkan sepenuh hati karena memang aku tak memiliki hati yang penuh dan utuh. Namun terima kasih, untuk pikiran yang tak egois yang tak hanya menampilkan sisi negatif dan turut membeberkan sisi positif, pikiran yang menyaring segala yang kulihat dan kudengar untuk menjadi sesuatu yang matang dan kujadikan nalar, pikiran yang selalu mau menemukan sisi baik dari segala hal, karena itulah yang membuatmu sesungguhnya menjadi tenang.

Untuk diriku, hati yang tak merasakan apa-apa, hati yang tak tahu kecewa atau tidak, senang atau tidak, marah atau tidak, gelisah atu tidak, bahagia atau tidak, hati yang sulit dijabarkan apa kondisinya, hati yang masih banyak lebam di sana. Maaf aku jarang mendengarkan keluh kesahmu, aku jarang mendengarkan apa maumu, aku belum pandai membaca arti dan menemukan nama rasa yang cocok untuk apa yang kau rasa. Namun terima kasih, untuk hati yang tetap kelihatan tenang, hati yang tak menghalau kekeruhan dan menimpa dengan air yang jernih, hati yang berusaha memberikan cinta dan mengembalikan cinta di tengah-tengah luka yang masih menganga, karena tanpa cinta mati sudah empati dan simpati terhadap sesama.


Mungkin banyak yang tak terungkapkan, yang masih menjadi residu di aspek-aspek tertentu. Setidaknya, aku bisa mengucapkan itu kepada diriku atas ketidakjelasan yang masih menyangkut di relung. 

Segala sesuatunya penting untuk dijadikan sebuah pelajaran dan pengalaman. 

Semoga kau tidak lelah dengan pengalaman dan pelajaran yang tak melulu indah dan mengasyikkan. Namun, kau jadi banyak tahu bagaimana caranya mengatasi sesuatu, di depan sana.


Terkasih,


dirku.

 



Menjadi manusia adalah serangkaian lelah yang mesti ditempuh. 

Menyusuri tempat baru, mengerahkan segala energi untuk beradaptasi
Menggulati hobi baru, mengerahkan waktu untuk mencari tahu
Mencintai seseorang baru, mengerahkan diri untuk mengerti 

Rutinitas, kegiatan berulang yang kerap melelahkan dan membosankan. Keduanya bertaut membentuk maut. Hidup adalah perjalanan. Mustahil kita tak diterpa lelah di dalamnya. Seperti dalam perjalanan mudik. Kita lapar, kita ingin kecing, kita lelah, kita ingin tidur.

Maka dibuatlah rest area. 
Tempat kita menepi dari segala kelelahan dan kebosanan. Tempat kita mengisi energi kembali.

Sesederhana mudik yang setahun sekali, bagaimana hal yang lebih sulit? Hidup kita? Perjalanan penuh lelah yang tak bersudah ini?

Beristirahatlah, ciptakan rest area versi kita.
Entah di tempat tidur dengan durasi tidur yang lebih panjang dari biasanya, di sebuah kafe dengan alunan musik dan secangkir kopi, berbaring di padang rumput, mendengarkan musik sambil bersepeda, atau sekadar menyaksikan kendaraan berlalu lalang di sisi jalan.

Terserah di mana, terserah dalam bentuk apa.
Yang jelas, kita semua butuh istirahat. Di jalan penuh lelah ini selalu ada persimpangan untuk kita berhenti sebentar dari telusuran-telusuran ke tujuan.

Kita butuh istirahat.
       


Aku hampir tak percaya, tetapi kenyataan ini telah menyelubung ke dalam mimpi sebelumnya. Aku sempat takut, risau, dan cemas akan hal yang semesta kirimi. Adakah bencana yang akan menghunjam dadaku lagi?
Tetapi batin dua orang yang telah terikat sekian lama mana bisa didusta? Aku merasa banyak lakunya yang berbeda—tidak seperti biasanya. Keceriaan yang dahulu kudambakan, waktu disusul waktu kian menipis sampai di titik aku tak merasakan kehadiran.
Sekujur tubuhku melemas, lidahku kelu, dadaku sesak, kepalaku pusing, bulir-bulir bening ikut merayakan kehancuran dan kekecewaanku. Benarkah? Tidakkah ada satu orang yang hendak membangunkanku dari ini semua? Atau memang aku sudah berada di alam nyata di kenyataan yang begitu sulit aku terima?
Jika aku saja sulit, bagaimana dengan dia? Bagaimana ia melewati semuanya seorang diri dalam kurun waktu cukup lama, bahkan bagiku itu sangat lama?
Banyak tanya yang melesat dalam kepala, tetapi aku belum sanggup bertanya. Waktunya belum tepat. Ia masih harus istirahat dari segala kekejaman dunia yang menjerat.
Ini ketakutanku yang tidak pernah aku ungkap dari awal pertama mendapatinya bangga melakukan sesuatu yang tidak kuduga. Hari itu aku melemas, pecah sudah bayangannya dari deret panut. Sejak hari itu aku memilih abai, tak sedikit pun menyelipkan wejangan hangat karena memang tak ada celah untukku menyelip. Seperti tidak ada aku. Tidak ada aku. Tidak ada di hidupnya. Aku sempat berpikir bahwa memang seharusnya manusia menjalani hidupnya sendiri-sendiri, tanpa campur tangan siapapun. Tetapi aku keliru, tidak semua orang bisa melakukan itu. Tidak semua orang bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Tidak semua orang bisa. Tidak semua orang mau.
Dan kini aku hanyut dalam ketahuan itu. Dalam sesuatu yang paling aku takuti, dalam sesuatu yang terlanjur terjadi. Tiap detik tak pernah lepas dari ingatanku. "Sudahkah mereka makan? Bahagiakah ia hari ini? Apa saja yang telah ia lewati hari ini? Di manakah dan bagaimana kondisinya?" Banyak, banyak sekali yang ingin aku tanyakan, tetapi aku tak mampu. Aku tidak sanggup mendengar jawabannya yang pilu. Suaranya yang bindeng di seberang telepon membuatku ingin menangis tiap kali mendengarnya—tiap kali membayangkannya. Namun kucoba sekuat tenaga agar tak terdengar lirih, bergetar, atau suara yang begitu ia kenali yang dengan mudahnya ia tanya "Ada apa?".
Aku gagal. Dalam perihal kepedulian aku gagal. Perkara menjaga aku gagal. Perkara memperhatikan aku gagal. Aku menyesali ini semua terjadi.


Suatu hari di awal jeda panjang, di penghujung malam aku berpikir, "Mengapa hari ini tidak seperti yang kuingini? Tidak juga ada satu dari banyaknya kegiatan yang telah disusun rapi di atas kertas dan mengisi kepala.". Bukankah aku telah berjanji, berjanji, berjanji pada diri ini untuk memperbaiki dan mengisi kosong-kosong dengan kegiatan yang lebih berarti?

Tetapi, aku mengingkari. Mencederai perasaanku sendiri. Mengabaikan semangatku yang menjulang tinggi di awal hari.

Hal-hal kecil di rumah tak bisa aku bantah. Pinta Mama untuk mengantar adik kecilku ke sekolah. Menggiling pakaian yang menumpuk di mesin itu kemudian menggantungnya di bawah sinar matahari yang malu-malu. Bayi bulat yang senang makan itu juga turut menggunakan waktuku, menyita hal-hal yang ada di kepalaku yang terpaksa aku kesampingkan.

Banyak yang menyenangkan, lebih banyak yang melelahkan.

Satu, dua, tiga hari berlalu tanpa permisi, begitu saja melewati kepalaku. Sampai kepala ini terisi dengan pertanyaan, "Kapan memulai rencanamu?". Tetap hanya menjadi pertanyaan di penghujung malam.

Buku-buku yang kubawa hanya tersentuh dan tak sempat terbaca. Menggeletak di atas kasur, sebagai teman tidur. Pagiku tanpa menditasi, tanpa peregangan dan lari kecil seperti yang kurencanakan, tanpa membaca buku dan secangkir kopi maupun teh, tanpa menulis puisi, tanpa membalas pesan-pesan yang masuk.

Rencana hanyalah rencana, jika tanpa ada tindakan apa-apa.
Macam-macam distraksi di depan telah menunggu dengan jumlah yang banyak sekali. Untuk menghancurkan diri dan menjadikan kita di sini-sini saja. 




2 Januari 2020, tanggal rilis film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Ketika aku tahu, aku gegas memesan tiket. Pokoknya aku harus nonton di hari pertama. Baik, pukul 17.00 WIB di Lotte Cinema Fatmawati.

Di awal-awal aku masih tidak mengerti secara keseluruhan karena alurnya bolak-balik, aku harus mencerna baik-baik. Masa kecil dan masa kini silih berganti dengan tokoh berbeda yang membuatku sedikit bertanya.

Di pertengahan aku mulai cukup mengerti dan emosional. Menempatkan posisi menjadi Aurora, si anak tengah yang banyak diam, cuek, tapi sebenarnya penuh luka. Keberadaannya seolah tidak penting, tapi ia bebas melakukan apa-apa yang ia mau, salah satunya berkarya. Ia sangat berbakat, tapi keluarga tidak begitu meliriknya, pun mengapresiasi sesuai dengan yang ia inginkan.

Seketika aku mengingat diriku beberapa tahun mundur, di mana aku merasakan persis rasanya menjadi Aurora. Aku anak tengah, banyak diam. Sekali bicara akan meledak, kalau tidak begitu tidak akan didengar. Aku ingat persis rasanya tak dekat dengan siapa-siapa. Sendiri. Di dalam rumah yang seharusnya penuh interaksi hangat, sekujur tubuhku dibekukan keheningan dinding-dinding kamar. Tidak ada yang bisa kuajak bicara, tidak ada yang mau menanggapiku dengan tulusnya. Bincang-bincang hangat tak pernah memeluk tubuhku yang kedinginan. Aku mendekam di kamar. Berinteraksi pada langit-langit, bantal, dan selimut yang satu-satunya yang masih memberi hangat. 

Terkadang aku berpikir, aku harus menjadi siapa untuk bisa didengar, untuk bisa dianggap ada.
Aku tak pernah menyempil di tengah-tengah tawa mereka yang gemanya bisa terdengar sampai kamar yang terkunci. Kamarku seperti gudang tak berpenghuni yang bernyawa. Aku seperti benda tak kasat mata di rumahku sendiri. Berkeliaran di ruang tanpa tegur sapa, gerak-gerak tubuhku saja yang menghasilkan suara.

Apakah aku ini tidak cukup layak untuk dilibatkan percakapan atau untuk sedikit diberi perhatian
Aku bertanya-tanya apa yang menjadi pembeda. Atau memang segala yang ada di diriku ini dipenuhi keanehan, hal-hal yang tidak bisa diterima nalar.

Emosiku, semua tercurah dalam tulisan. Sebuah karya yang tidak menjadi apa-apa. Yang tidak disukai siapa-siapa, pun dengan diriku sendiri. Tapi, aku tetap menulis, karena dengan itulah caraku bertahan hidup. Menulis adalah subtitusi dari bibirku yang tak pernah terlibat diskusi atau cerita-cerita kecil tentang sekolah, tentang perasaan lelah, tentang diriku yang semakin lama semakin tak terarah. Hanya dengan menulis aku melanjutkan hidupku. Kertas adalah telinga paling setia. Segala resah atas ketidakpantasanku tercurah. Ia tak membantah atau menganggap perasaanku sebagai gelas pecah: tidak berguna.

Aku menangis. Terus menangis mendengar kata tiap kata yang Aurora katakan. Terlebih pada kalimat;
"Kalian sudah kehilangan aku."
Iya, mereka kehilanganku. Keberadaanku semu. Bertahun-tahun aku hidup di rumah dalam keterasingan, dalam ketidaknyamanan.

Kasih dan perhatian yang seharusnya dibagi rata, dirampas mereka. Sulung dan bungsu menikmati dengan cuma-cuma. Sedangkan aku mati-matian melakukan segala tindakan demi pujian, demi apresiasi yang tak kunjung kudapati. Seharusnya tak perlu ada aku di dunia kalau mereka tak memangkuku sama. Tak mengecek suhu tubuhku ketika musim hujan tiba, tak menanyai bagaimana hari-hari yang kujalani, tak disuguhi pereda panas ketika aku demam. Semua kupikul sendiri, meski harus merangkak perih.

Aurora berhasil membangkitkan pilu yang semula tertidur lelap dalam paksaan. Yang kupaksa tidur karena usiaku telah dewasa. Sedikit-sedikit rasa masih ada. Masih bertanya-tanya.

Aurora juga berhasil memberi tahuku betapa kuatnya aku dulu, betapa semuanya telah kulalui seorang diri. Tanpa meminta uluran tangan dari siapa-siapa. Betapa semuanya semenyakitkan itu, betapa aku dililit rasa cemburu. 

Aurora mengingatkanku bahwa aku harus tetap tenang. Sesekali diam, tapi perlu berbicara dan bertindak juga. Aurora memberikanku cermin, melihat luka-lukaku yang membusuk abu-abu yang segera harus dikubur tanah basah kemudian diberi doa supaya tidur selamanya.

Anak tengah ini banyak belajar dari perasaan keterasingan itu, yang begitu menyiksa dan memproduksi air mata pada malam menjelang. Mungkin aku bisa kaya jika berlian yang keluar dari sana.
Tapi aku kini juga kaya, kaya akan rasa dan pengalaman. Aku berterima kasih diizinkan merasakan perasaan seperti itu yang menjadikan aku kini, yang membentuk rasaku sekarang.

Terima kasih diriku, sudah bertahan, sejauh ini.

Terima kasih karena telah menjadikan segala kesakitan sebagai bahan pembelajaran.



Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya 2019 berakhir dan aku masih tetap bertahan. Meski kutahu, aku tidak sepenuhnya bisa bernapas lega, karena masih banyak hal di depan yang aku tidak tahu yang aku harus hadapi. Tapi paling tidak, aku tahu bahwa apa yang harus aku lakukan di depan nanti. Bagaimana menghadapi ini, menghadapi itu. Aku sudah banyak belajar dan latihan di tahun lalu.

Persiapanku cukup matang, cukup rapi dan cukup siap untuk menghadapi segala kendala yang sudah menunggu di sana. Aku tidak berekspektasi tahun ini akan mudah, aku hanya membuat kemungkinan bisa melewatinya jauh lebih besar karena kesiapan yang telah kulakukan sebelumnya. Demi tidak ada lagi aku yang terpuruk dan hanya meratapi kesedihan serta kegagalanku. Karena itu hanyalah jebakan. Itu hanyalah lubang perangkap.

Aku mempersiapkan diriku dari hal kecil, seperti membereskan kamar dan mendekorasi ulang kamar indekosku. Awalnya cukup sulit dan memusingkan mau kuapakan ruangan sempit ini dengan peralatan yang cukup banyak? Akhirnya aku mencoba untuk membuang dan membawa pulang barang-barang yang tidak begitu sering aku gunakan. Baju-baju yang berwarna mencolok atau yang jarang kupakai, kutaruh di rumah. Kamar indekosku kini jauh lebih rapi dan lega.

Selain itu, aku pun membuat bullet journal, agar segala kegiatanku tersusun rapi dan tidak ada yang terlewat. Tahun lalu, aku sangat kacau, hingga banyak sekali jadwal terlewat dan akhirnya aku keteteran sendirian. Pusing. Lelah juga. Bawaannya hanya ingin tidur dan tidak mau ngapa-ngapin, sedangkan tugas semakin menumpuk. Journal ini sangat membantuku dan memudahkanku dalam melalui hari-hari. Membuatku lebih fokus juga pada sesuatu yang ingin kulakukan kemhdian kutuju.

Aku mulai menulis kembali, ya seperti ini contohnya.
Aku menantang diriku untuk menulis blog setiap hari, tentang ide-ide liarku atau hanya berupa catatan harian atau curahan perasaan yang masih mengendap di palung kalbu. Aku sadar, seorang penulis seharusnya menulis. Setiap saat dan tak ada hentinya. Tidak peduli bagaimana suasana hatinya. Negatif atau positif, senang atau sedih, ya tulis saja. Apa pun itu. Tulis.

Baiklah, aku sedikit memaksa diriku. Karena aku sering lalai dan abai, terlalu dimanjakan oleh diriku. Dan itu menyesatkan. Aku memaksa diriku untuk menaruh barang ke tempat semula dengan segera, tidak menggeletakkannya begitu saja setelah menggunakannya. Karena itu salah satu kebiasaan burukku yang harus sekali kuubah. Harus. Dengan paksaan, aku sedikit bergerak. Hari perhari lama kelamaan menjadi kebiasaan, kemudian jadi melakukan tanpa dipikirkan.

Di tahun ini, aku menyempilkan harapan kecil; aku di kelilingi manusia-manusia baik, berenergi positif, lebih bahagia, sehat fisik dan mental, serta lebih giat belajar.
Paling tidak aku mau perubahan di dalam diriku yang lebih baik, menjadi manusia yang lebih manusia lagi dari sebelumnya. Aku antusias sekali untuk melewati hari-hari, melakukan peranku yang telah Tuhan tentukan bagaimana jalan ceritanya.

Tidak melulu untukku, aku juga meminta kawan-kawanku bisa pulih dan lebih baik dari sebelumnya di tahun ini. Pergerakkan-pergerakkan mereka yang meski kecil akan mendapatkan ganjaran. Karena aku percaya, setiap usaha yang kita lakukan, sekecil apa pun itu, memiliki balasannya tersendiri.

Jangan bosan menjadi orang baik,
Jangan mengharap balas dari kebaikan yang kita usahakan

T u l u s

Nanti jalanmu dipermulus.



Tahun telah berganti. Kini hari keenam di Januari. Seharusnya aku menulis ini tepat pada malam pergantian tahun, tapi entah kenapa belum ada kemauan. Ini juga jadi salah satu pelajaran bagiku bahwa untuk melakukan sesuatu yang (kuanggap) baik tidak perlu menunggu sampai aku mau dan siap. Dan di hari ini aku memaksa melakukannya. Rupanya diriku harus diperlakukan lebih keras olehku supaya tidak stuck di situ melulu.

Tahun 2019 bisa dibilang tahun yang begitu melelahkan, banyak sedihnya, banyak kacaunya. Jatuh dan bangun tidak seimbang, terlalu banyak jatuh.

Kehilangan masih menyapaku di tahun itu. Seorang yang kuanggap menjadi satu-satunya yang tersisa dari SMA, rupanya tumbang juga. Kepergiannya abu-abu, aku juga tidak meminta penjelasan yang perinci. Biarkan saja jika ia memilih pergi. Aku tidak mau menarik-narik dan meminta dengan sangat untuk menetap. Aku tidak lagi memiliki energi untuk itu, dan menurutku aku tidak lagi harus berperilaku begitu. Semakin ke sini aku semakin sadar bahwa bukan tugasku untuk membuat mereka yang ada di hidupku untuk menetap, itu adalah pilihannya.

Sepi.
Itu yang paling membekas. Tahun 2019, pertama kali aku keluar dari rumah. Tinggal sendiri di kamar indekos yang kudekor sebisa mungkin agar membuatku nyaman dan merasa di rumah. Mula-mula aku sangat bahagia. Bebas ke sana-ke sini sesukaku, menjelajah ruang-ruang yang beluk kupijak. Tapi, rupanya tidak sebahagia itu. Ke mana-mana sendiri tidak melulu menyenangkan, aku sadar aku butuh teman. Aku tetap manusia sosial yang butuh berbincang dan tidak merasa sendirian.


Kecemasan yang kerap menggentayangiku. Itu semua bagai tali simpul yang melilit leherku, atau sebuah silet di atas nadiku. Mematikan. Perlahan-lahan.

Newer Posts
Older Posts

Pemilik Ruang


Halo, selamat datang di Ruang Tenang! Senang mengetahuimu mengunjungi ruanganku, tempat aku melarikan diri dari kegaduhan dunia. Di sini kau akan bertemu sekat-sekat ruang dalam kepalaku yang begitu sesak menjadi untaian kata-kata.

Mari Berteman

Labels

Berdikari Jurnal Karya Teman Hidup

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2021 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ▼  2020 (11)
    • ▼  Desember (3)
      • Perempuan
      • Penuh Amarah
      • Hari Paling Menakutkan
    • ►  September (2)
      • Berhenti Menyontek
      • Surat Untuk Diriku (2020)
    • ►  Juli (1)
      • Lelah yang Tak Bersudah
    • ►  Maret (1)
      • Sebab Ketidakmampuanku
    • ►  Februari (1)
      • Terdistraksi
    • ►  Januari (3)
      • Nonton NKCTHI, Tim Anak Tengah
      • Meramu Tahun Baru Supaya Tak Lagi Semu
      • Hal yang Kupetik di 2019
  • ►  2019 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)


FOLLOW ME @INSTAGRAM





Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates