­

Sebab Ketidakmampuanku

by - Maret 21, 2020

       


Aku hampir tak percaya, tetapi kenyataan ini telah menyelubung ke dalam mimpi sebelumnya. Aku sempat takut, risau, dan cemas akan hal yang semesta kirimi. Adakah bencana yang akan menghunjam dadaku lagi?
Tetapi batin dua orang yang telah terikat sekian lama mana bisa didusta? Aku merasa banyak lakunya yang berbeda—tidak seperti biasanya. Keceriaan yang dahulu kudambakan, waktu disusul waktu kian menipis sampai di titik aku tak merasakan kehadiran.
Sekujur tubuhku melemas, lidahku kelu, dadaku sesak, kepalaku pusing, bulir-bulir bening ikut merayakan kehancuran dan kekecewaanku. Benarkah? Tidakkah ada satu orang yang hendak membangunkanku dari ini semua? Atau memang aku sudah berada di alam nyata di kenyataan yang begitu sulit aku terima?
Jika aku saja sulit, bagaimana dengan dia? Bagaimana ia melewati semuanya seorang diri dalam kurun waktu cukup lama, bahkan bagiku itu sangat lama?
Banyak tanya yang melesat dalam kepala, tetapi aku belum sanggup bertanya. Waktunya belum tepat. Ia masih harus istirahat dari segala kekejaman dunia yang menjerat.
Ini ketakutanku yang tidak pernah aku ungkap dari awal pertama mendapatinya bangga melakukan sesuatu yang tidak kuduga. Hari itu aku melemas, pecah sudah bayangannya dari deret panut. Sejak hari itu aku memilih abai, tak sedikit pun menyelipkan wejangan hangat karena memang tak ada celah untukku menyelip. Seperti tidak ada aku. Tidak ada aku. Tidak ada di hidupnya. Aku sempat berpikir bahwa memang seharusnya manusia menjalani hidupnya sendiri-sendiri, tanpa campur tangan siapapun. Tetapi aku keliru, tidak semua orang bisa melakukan itu. Tidak semua orang bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Tidak semua orang bisa. Tidak semua orang mau.
Dan kini aku hanyut dalam ketahuan itu. Dalam sesuatu yang paling aku takuti, dalam sesuatu yang terlanjur terjadi. Tiap detik tak pernah lepas dari ingatanku. "Sudahkah mereka makan? Bahagiakah ia hari ini? Apa saja yang telah ia lewati hari ini? Di manakah dan bagaimana kondisinya?" Banyak, banyak sekali yang ingin aku tanyakan, tetapi aku tak mampu. Aku tidak sanggup mendengar jawabannya yang pilu. Suaranya yang bindeng di seberang telepon membuatku ingin menangis tiap kali mendengarnya—tiap kali membayangkannya. Namun kucoba sekuat tenaga agar tak terdengar lirih, bergetar, atau suara yang begitu ia kenali yang dengan mudahnya ia tanya "Ada apa?".
Aku gagal. Dalam perihal kepedulian aku gagal. Perkara menjaga aku gagal. Perkara memperhatikan aku gagal. Aku menyesali ini semua terjadi.

You May Also Like

0 comment