Penuh Amarah

by - Desember 03, 2020

Tujuh tahun lalu aku bukanlah seorang anak perempuan yang dekat dengan ibunya.
Tujuh tahun lalu aku dan mamaku hanya dipenuhi pertengkaran.
Tujuh tahun lalu kami saling salah paham.

Aku tidak terlalu ingat dan menyadari betul kapan persisnya aku jadi akrab dengan Mama dan "kenapa". Mula-mula dua jenis pertanyaan itu selalu aku tanyakan dalam diri ketika sedang melamun dan baru menyadari berbincangan kami yang semakin hangat dan semakin lama kami jarang teribat pertengkaran.

Kapan? Dan mengapa? Apakah tiba-tiba?

Saat itu, ketika aku menjadi remaja tanggung, semua ucapan Mama adalah salah dan bohong belaka, bagiku. Apa yang dibicarakannya tak ingin aku dengar dan percayai. Aku seperti musuhnya yang terang-terangan menyangkal dan menentangnya. Hubungan kami hanya dipenuhi kesalahpahaman dan kemarahan.

Aku ingat betul, aku pernah marah tak beralasan kepada temanku yang selalu mendengarkan ucapan ibunya. Ia selalu bilang, 
"Kata ibuku.." 
"Kata ibuku..."
"Kata ibuku..."
yang membuatku geram.

Setelah aku telusuri lebih dalam perasaanku, marah ini bukanlah marah biasa. Ini adalah kecemburuan yang dibalut kemarahan. Rupanya aku cemburu padanya yang memiliki hubungan baik dengan ibunya, yang pada saat itu aku melihat Mama condong kepada kakak dan adikku. Aku cemburu pada siapapun yang terlihat akrab pada ibunya, bisa berkomunikasi lancar dan dipenuhi tawa hangat, seperti yang kakak dan mamaku lakukan. 

Aku jadi berpikir, apakah yang sebenarnya menyebabkan hubunganku dengan mama tak kunjung membaik dan hangat?

Rupanya kami saling salah paham. Rupanya kami tak saling mendengarkan.

Aku kadang bingung harus menyesali atau mensyukuri tindakan jahatku di masa silam. 

You May Also Like

0 comment