Surat Untuk Diriku (2020)
Di tengah malam yang lengang dengan
hati yang tak berisikan, aku menjentikkan jemari ini untuk menulis surat,
sedikitnya berisi mengenai apa yang kurasa pada tahun ini, bahkan apa yang tak berhasil aku rasakan. Aku mencoba berbicara kepadaku melalui sebuah surat yang mungkin akan mengingatkanku di waktu yang akan datang: apa-apa saja yang sudah tertinggal dan tergantikan, apa-apa saja yang membiru dan membaru.
Apa kabar?
adalah bentuk pertanyaan sederhana yang paling tidak bisa kaujawab dengan jujur. Sebuah tanya 'apa kabar' seperti memiliki magnet kata 'baik' yang mesti kau jadikan jawaban, tidak peduli bagaimana kondisimu saat itu.
Apa kabar diriku? Mengapa tak kunjung jujur pada dirimu, pada hatimu, pada ibu jarimu, pada apapun yang menjadikanmu utuh sebagai sebuah tubuh? Sebagai seorang manusia?
Kini kau tahu menjadi manusia setiap harinya tak pernah mudah dan meringan. Kesulitan dan keberatan akan menimpa punggungmu yang telah bungkuk di usia muda. Sejak usia kanak-kanak. Namun dengan adanya angka yang bertambah setiap tahunnya dan belum tertuliskan di nisan, dengan adanya lilin yang masih kau tiup setiap tahunnya, dengan adanya kue keju yang masih kau makan setiap tahunnya, dengan adanya surat dari ibu yang kau baca setiap tahunnya, dengan adanya kado yang kau terima setiap tahunnya, menandakan betapa semakin kokohnya punggung dan bahumu, betapa semakin lapangnya dadamu, betapa semakin ajeknya kakimu, betapa semakin arifnya jiwamu, betapa semakin kuatnya dirimu memilih bertahan di tengah terpaan yang selalu saja mampir.
Untuk diriku, jiwa yang belum bisa disebut pasti seperti apa bentuknya, jiwa yang selalu samar ketika hendak dipotret, jiwa yang selalu berganti-ganti setiap hari, setiap pekan, dan setiap bulan. Maaf aku kerap menggantimu dengan jiwa orang lain yang aku tidak kenal, yang aku idam-idamkan. Kupikir menjadi mereka mengasyikkan, kupikir menjadi apa yang aku mau begitu memuaskan. Rupanya tidak. Namun terima kasih, untuk jiwa yang terus mencari jati dirinya, jiwa yang selalu berusaha pulang setelah melalui perjalanan panjang, jiwa yang tak ingin kehilangan keasliannya, karena itu yang tidak akan pernah bisa ditiru.
Untuk diriku, raga yang kerap
kehilangan minat pada apa yang sebelumnya melekat, raga yang kerap
bermalas-malas membaca lembar buku, raga yang kerap takut terlibat interaksi
dengan orang-orang. Maaf aku masih sering kalah dengan semua rasa itu, masih
belum bisa merangkulnya dan tetap berusaha melawan dan tak menjadikannya teman. Namun terima kasih, untuk raga yang bergegas bangkit ketika tahu telah menghabiskan banyak waktu dengan kesia-siaan, raga yang mencicil huruf-huruf di lembar-lembar kertas untuk dilahap habis, raga yang membalas pesan dengan gurauan-gurauan natural, karena tanpa itu semua tidak akan terjadi apa-apa.
Untuk diriku, pikiran yang tak
terkendali melayang-layang jauh ke suatu tempat yang tak seharusnya, pikiran
yang mengandai-andai sesuatu di belakang bisa kubelokkan untuk menghindari hari
ini. Maaf bayang-bayangku masih tertinggal di sana dengan separuh hati yang tergeletak
seluruhnya retak, masih sulit bagiku memaafkan sepenuh hati karena memang aku tak memiliki hati yang penuh dan utuh. Namun terima kasih, untuk pikiran yang tak egois yang tak hanya menampilkan sisi negatif dan turut membeberkan sisi positif, pikiran yang menyaring segala yang kulihat dan kudengar untuk menjadi sesuatu yang matang dan kujadikan nalar, pikiran yang selalu mau menemukan sisi baik dari segala hal, karena itulah yang membuatmu sesungguhnya menjadi tenang.
Untuk diriku, hati yang tak
merasakan apa-apa, hati yang tak tahu kecewa atau tidak, senang atau tidak,
marah atau tidak, gelisah atu tidak, bahagia atau tidak, hati yang sulit
dijabarkan apa kondisinya, hati yang masih banyak lebam di sana. Maaf aku
jarang mendengarkan keluh kesahmu, aku jarang mendengarkan apa maumu, aku belum pandai membaca arti dan menemukan nama rasa yang cocok untuk apa yang kau rasa. Namun terima kasih, untuk hati yang tetap kelihatan tenang, hati yang tak menghalau kekeruhan dan menimpa dengan air yang jernih, hati yang berusaha memberikan cinta dan mengembalikan cinta di tengah-tengah luka yang masih menganga, karena tanpa cinta mati sudah empati dan simpati terhadap sesama.
Mungkin banyak yang tak terungkapkan, yang masih menjadi residu di aspek-aspek tertentu. Setidaknya, aku bisa mengucapkan itu kepada diriku atas ketidakjelasan yang masih menyangkut di relung.
Segala sesuatunya penting untuk dijadikan sebuah pelajaran dan pengalaman.
Semoga kau tidak lelah dengan pengalaman dan pelajaran yang tak melulu indah dan mengasyikkan. Namun, kau jadi banyak tahu bagaimana caranya mengatasi sesuatu, di depan sana.
Terkasih,
dirku.
0 comment