Nonton NKCTHI, Tim Anak Tengah

by - Januari 07, 2020





2 Januari 2020, tanggal rilis film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Ketika aku tahu, aku gegas memesan tiket. Pokoknya aku harus nonton di hari pertama. Baik, pukul 17.00 WIB di Lotte Cinema Fatmawati.

Di awal-awal aku masih tidak mengerti secara keseluruhan karena alurnya bolak-balik, aku harus mencerna baik-baik. Masa kecil dan masa kini silih berganti dengan tokoh berbeda yang membuatku sedikit bertanya.

Di pertengahan aku mulai cukup mengerti dan emosional. Menempatkan posisi menjadi Aurora, si anak tengah yang banyak diam, cuek, tapi sebenarnya penuh luka. Keberadaannya seolah tidak penting, tapi ia bebas melakukan apa-apa yang ia mau, salah satunya berkarya. Ia sangat berbakat, tapi keluarga tidak begitu meliriknya, pun mengapresiasi sesuai dengan yang ia inginkan.

Seketika aku mengingat diriku beberapa tahun mundur, di mana aku merasakan persis rasanya menjadi Aurora. Aku anak tengah, banyak diam. Sekali bicara akan meledak, kalau tidak begitu tidak akan didengar. Aku ingat persis rasanya tak dekat dengan siapa-siapa. Sendiri. Di dalam rumah yang seharusnya penuh interaksi hangat, sekujur tubuhku dibekukan keheningan dinding-dinding kamar. Tidak ada yang bisa kuajak bicara, tidak ada yang mau menanggapiku dengan tulusnya. Bincang-bincang hangat tak pernah memeluk tubuhku yang kedinginan. Aku mendekam di kamar. Berinteraksi pada langit-langit, bantal, dan selimut yang satu-satunya yang masih memberi hangat. 

Terkadang aku berpikir, aku harus menjadi siapa untuk bisa didengar, untuk bisa dianggap ada.
Aku tak pernah menyempil di tengah-tengah tawa mereka yang gemanya bisa terdengar sampai kamar yang terkunci. Kamarku seperti gudang tak berpenghuni yang bernyawa. Aku seperti benda tak kasat mata di rumahku sendiri. Berkeliaran di ruang tanpa tegur sapa, gerak-gerak tubuhku saja yang menghasilkan suara.

Apakah aku ini tidak cukup layak untuk dilibatkan percakapan atau untuk sedikit diberi perhatian
Aku bertanya-tanya apa yang menjadi pembeda. Atau memang segala yang ada di diriku ini dipenuhi keanehan, hal-hal yang tidak bisa diterima nalar.

Emosiku, semua tercurah dalam tulisan. Sebuah karya yang tidak menjadi apa-apa. Yang tidak disukai siapa-siapa, pun dengan diriku sendiri. Tapi, aku tetap menulis, karena dengan itulah caraku bertahan hidup. Menulis adalah subtitusi dari bibirku yang tak pernah terlibat diskusi atau cerita-cerita kecil tentang sekolah, tentang perasaan lelah, tentang diriku yang semakin lama semakin tak terarah. Hanya dengan menulis aku melanjutkan hidupku. Kertas adalah telinga paling setia. Segala resah atas ketidakpantasanku tercurah. Ia tak membantah atau menganggap perasaanku sebagai gelas pecah: tidak berguna.

Aku menangis. Terus menangis mendengar kata tiap kata yang Aurora katakan. Terlebih pada kalimat;
"Kalian sudah kehilangan aku."
Iya, mereka kehilanganku. Keberadaanku semu. Bertahun-tahun aku hidup di rumah dalam keterasingan, dalam ketidaknyamanan.

Kasih dan perhatian yang seharusnya dibagi rata, dirampas mereka. Sulung dan bungsu menikmati dengan cuma-cuma. Sedangkan aku mati-matian melakukan segala tindakan demi pujian, demi apresiasi yang tak kunjung kudapati. Seharusnya tak perlu ada aku di dunia kalau mereka tak memangkuku sama. Tak mengecek suhu tubuhku ketika musim hujan tiba, tak menanyai bagaimana hari-hari yang kujalani, tak disuguhi pereda panas ketika aku demam. Semua kupikul sendiri, meski harus merangkak perih.

Aurora berhasil membangkitkan pilu yang semula tertidur lelap dalam paksaan. Yang kupaksa tidur karena usiaku telah dewasa. Sedikit-sedikit rasa masih ada. Masih bertanya-tanya.

Aurora juga berhasil memberi tahuku betapa kuatnya aku dulu, betapa semuanya telah kulalui seorang diri. Tanpa meminta uluran tangan dari siapa-siapa. Betapa semuanya semenyakitkan itu, betapa aku dililit rasa cemburu. 

Aurora mengingatkanku bahwa aku harus tetap tenang. Sesekali diam, tapi perlu berbicara dan bertindak juga. Aurora memberikanku cermin, melihat luka-lukaku yang membusuk abu-abu yang segera harus dikubur tanah basah kemudian diberi doa supaya tidur selamanya.

Anak tengah ini banyak belajar dari perasaan keterasingan itu, yang begitu menyiksa dan memproduksi air mata pada malam menjelang. Mungkin aku bisa kaya jika berlian yang keluar dari sana.
Tapi aku kini juga kaya, kaya akan rasa dan pengalaman. Aku berterima kasih diizinkan merasakan perasaan seperti itu yang menjadikan aku kini, yang membentuk rasaku sekarang.

Terima kasih diriku, sudah bertahan, sejauh ini.

Terima kasih karena telah menjadikan segala kesakitan sebagai bahan pembelajaran.

You May Also Like

0 comment