Hari Paling Menakutkan
Belum pernah dalam hidupku merasakan ketakutan dan kekhawatiran sebegininya. Berjuta-juta kali lipat dari ketika kecemasan tak beralasan menyerangku. Segala pikiran buruk yang datang dan menumpuk berusaha aku sapu keluar ruang tenang. Tetap berperilaku seperti biasa begitu amat aku paksa, dan ketika berhenti dari kesibukkan duniawi apapun yang buruk kembali menggentayangi.
Melihat Mama memasuki ruang isolasi tubuhku bergetar bukan main. Tanganku tak mampu melambai saking gemetarnya, saking aku tak memiliki daya untuk berbuat apa-apa. Aku terperangah dengan apa yang baru saja aku dengar. Benarkah kesemua itu? Namun hari itu aku melihat kelelahan yang sangat lelah di mata Mama yang telah lama ia simpan seorang diri. Tubuh yang selalu sigap melakukan sesuatu, tubuh yang bisa melakukan banyak hal itu, seperti sebuah pohon yang diterpa hujan badai. Ambruk. Tumbang.
Aku takut.
Sangat takut.
Sepanjang jalan aku pulang, tanpa membawa mama di jok belakang, dengan meninggalkan Mama menghuni ruang menyeramkan, air mataku mengalir di tengah kemacetan yang selalu aku terobos di tiap celah yang dapat aku lewati. Di kanan jalan atau kiri trotoar. Aku tidak mampu membayangkan hidup yang masih berantakan ini tanpa sesosok Mama, aku tidak bisa membayangkan betapa halusnya kepingan hatiku jika itu terjadi. Semakin dibayangkan, semakin menyakitkan, semakin banyak bulir-bulir air mata berjatuhan. Semakin kencang kepalaku menggeleng.
Seketika hanya ada Mama dalam kepala. Dosa-dosa yang kuperbuat padanya, kelembutan hatinya, dan ketegaran jiwanya yang aku tak mengerti mengapa bisa. Begitu banyak luka yang telah ia tambal, seratnya finansial yang ia beri pelumas, dan keinginan buah hati yang satu-satu ia penuhi. Caranya mencinta dan caranya mengagumi anak-anaknya jelas berbeda. Mungkin memang tidak seperti apa yang dimau, namun tiap ibu miliki caranya sendiri. Bahasa cintanya yang pelan-pelan aku pahami, caranya mengagumi dan merindu yang sedikit-sedikit mulai aku ketahui, sungguh semua itu berterbangan di atas kepala.
Aku takut tak punya cukup waktu untuk menjadi kebanggaannya.
Sepanjang jalan itu juga aku meminta dengan hati yang tak pernah setulus itu sebelumnya, "Tuhan, jangan ambil Mama dulu." bahkan aku seperti tak mampu mengucapkan itu, aku tak mau mengucapkan kalimat yang menyeramkan itu. Aku menggeleng dan terus menggeleng. Menaruh asa dalam jiwa dan kepala.
0 comment