twitter facebook instagram pinterest linkedin

Sky Cantiki

Menulis untuk hidup

 Dewasa ini, kita rupanya semakin sering mempertanyakan diri sendiri. Merasa kurang dan tidak cukup akan sesuatu yang kita miliki, yang ada di diri sendiri. Seolah semua yang kita lihat di depan cermin adalah hal yang paling tidak kita sukai. Tak pernah puas apalagi bangga. Semuanya jauh dari apa yang kita harapkan.

Apa yang kutulis di bab ini tidak lain dan tidak bukan karena terinspirasi dari diriku sendiri. Aku yang tidak menyukai diriku, enggan bercermin. Menatap diriku sendiri rasanya selalu tidak puas dan hanya ingin marah-marah. Kecewa rasanya dulu yang selalu memenuhi dada. Seolah jauh sekali dengan bahagia.  

Aku ingat, semuanya bermula ketika aku mulai beranjak remaja. Ketika memasuki usia remaja aku mulai tidak menyukai menatap diriku di cermin, yang padahal ketika aku masih kanak-kanak aku senang sekali melihat diriku di cermin. Sehabis mandi dengan bedak celemotan di sana-sini, aku menyisiri rambutku sambil menatap cermin. Lamat-lamat imajinasi tentang cita-citaku muncul di hadapanku. Membayangkan betapa indahnya menjadi orang dewasa yang kudamba. Aku akan menjadi orang dewasa yang bahagia.

Semuanya tidak bertahan lama ketika aku bangun tidur mendapati sebuah jerawat muncul di pipi. Aku benci itu. Ketidaksempurnaan yang ingin aku binasakan. Mencoba produk ini itu demi si jerawat mengganggu itu enyah dari mukaku. Wajahku sudah seperti kuali tukang gorengan, penuh dengan minyak membuat debu-debu yang berterbangan berlabuh di sana. Semakin hari wajahku agaknya makin menggelap. Kerudung yang kugunakan ketika sekolah membuat wajahku memiliki dua warna. Belang. Aku stres sekali melihat wajahku seperti itu. Kemudian enggan menatap diriku di cermin lagi. Semakin hari wajahku semakin tidak terawat. Jerawat-jerawat itu justru betah tinggal di sana.

Tidak hanya itu, berat badanku yang di atas ideal selalu mengganggu mataku. Bully-an dari orang sekitar seperti bahan bakar yang membuat rasa benciku kepada diriku sendiri semakin besar. Aku si gendut, hitam, dan jerawatan, semakin tertekan. Tiap bertemu orang yang dikomentari selalu saja berat badanku. Dikata-katai oleh laki-laki di kelas, membuatku semakin merasa bahwa diriku memang seburuk itu. Aku merasa tidak layak untuk dicintai ataupun sekadar ada di dunia. Kulihat teman-temanku tak begitu. Tidak memborong semua ketidaksempurnaan sepertiku. Aku mulai membanding-bandingkan diriku dan hidupku dengan diri dan kehidupan orang lain. Kebencian itu semakin besar hingga membuatku memutuskan untuk meminjam jiwa orang lain. Meminjam jiwa seorang teman yang sangat kusukai keseluruhan diri dan hidupnya. Aku ingin menjadi dirinya. 

Bertahun-tahun aku berpura-pura menjadi orang lain demi bisa merasa bahagia. Tetapi, aku tidak kunjung bertemu dengan kelegaan yang sesungguhnya. Justru kecemasan-kecemasanlah yang selalu ada. Kebahagiaan seperti jauh sekali dari diriku. Meski haha-hihi, tetapi hatiku huhu huhu.

Pada akhirnya, aku berhenti menggunakan jiwa orang lain. Menghidupkan jiwaku sendiri, yang terkenal aneh dan lebih banyak diam. Aku bukanlah periang. Aku seorang yang sering menenggelamkan pikiran ke dalam imajinasi, bicara sendiri, tertawa sendiri, dan menulis lagi. 

AKU MULAI MERASA BAHAGIA.

Bukan kebahagiaan yang besar seperti memenangkan lotre, hanya saja aku merasa lebih nyaman seperti itu. Seperti tidak ada beban. Seperti tak ada yang menekan. Aku bebas melakukan apapun yang kusuka. Tak memikirkan siapa-siapa.

Dari situlah aku menyadari bahwa hal pertama yang mendekatkan kita dengan bahagia adalah perasaan nyaman dengan diri sendiri. Ketika aku dan diriku sendiri saling membantu dan menemani, aku menjadi tidak terlalu ambil pusing jika tidak ada siapapun di sisi. Aku mulai menormalisasi kesendirianku ini. Kesendirian yang tadinya kuanggap sangat menyeramkan karena aku tidak ingin merasa kesepian dan tidak ada yang menginginkanku. Rupa-rupanya, kesendirian tidak sama dengan kesepian. Aku bisa jauh lebih mengenal diriku ketika aku memiliki waktu luang dengan diriku sendiri lebih banyak. Aku berdialog dengan diriku, mendiskusikan masalah, memecahkannya bersama, sampai saling terbuka menjelaskan apa yang aku inginkan selama ini dan apa yang ingin aku tuju.

Ketika itu, aku mulai nyaman untuk berpergian sendiri. Melihat-lihat sekeliling sambil menghidupkan daya pikir. Aku merenung, memaknai apa yang kulihat. Duduk-duduk di kursi trotoar sambil minum kopi murahan. Atau menonton bioskop seorang diri, makan di restoran sendiri, dan ke toko buku sendiri. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Pada awalnya, banyak sekali yang mencibirku seperti orang yang tidak punya teman. Ada juga yang mempertanyakan kepadaku bagaimana rasanya berpergian sendirian. Dengan lantang aku katakan, hal itu adalah hal terasyik di dunia.


Bab Rangkul Bayangan (Sebuah Usaha Mendekati Diri Sendiri) adalah sebagai pengingat untukku sendiri dan barangkali dapat menjadi langkah awal untukmu mendekati dirimu sendiri hingga kemudian kau bertemu dengan siapa dirimu. Ini pula sebagai nasihat kepada diriku yang dulu supaya tidak lagi seperti itu.

Seperti yang telah kukatakan, langkah utama untuk merasakan bahagia adalah kau mesti merasa nyaman lebih dulu dengan dirimu sendiri. 

Sepasang kakimulah yang pada akhirnya paling bisa kau andalkan dalam berbagai kondisi. Sebab, sepasang kaki itulah yang mampu membawamu pada suatu perubahan. Tak menjadi masalah ada atau tidaknya seseorang di sisimu, karena kau memiliki dirimu sendiri.

Lihatlah dirimu di cermin, jangan pernah membenci dirimu sendiri. Kau seharusnya menjadikan dirimu sebagai sahabat baik, sebab ia yang menemanimu kemana-mana. Definisikan cantikmu. Jangan membiarkan orang lain mendefinisikan dirimu dan memberikan standar kecantikannya kepada dirimu.

Segala sesuatunya hanyalah perspektif belaka. Mungkin kau merasa hidup orang lain lebih baik darimu, mungkin kau ingin menjadi dirinya sebab kau merasa kehidupanmu tidak seru. Tetapi, kita tidak pernah tahu dengan persis apa-apa saja yang ada di dalam sana. Kita tiak akan pernah bisa menyelaminya sampai dasar.

Maka dari itu, merasa kenyanglah akan dirimu yang sekarang. Kau cukup. Kau utuh.


Menjalani hidup sebagai seorang dewasa baru rasanya ada saja kegelisahan yang muncul setiap saatnya. Kegelisahan yang bermula dari ketidaktahuan ataupun kebingungan harus melakukan apa selanjutnya. Dunia dipenuhi teka-teki. Tiap tragedi seperti kepingan puzzle yang melengkapi kehidupan. Keping-keping itu tidak pernah bisa kita prediksi seperti apa bentuknya, ditemukan di mana dan kapannya. Seketika saja kita akan merasa lengkap sesaat sesudah berhasil melewatinya.


Kita manusia berangkat dari ketidaktahuan, tetapi diharuskan mengetahui banyak hal.

Suatu waktu, aku yang gelisah, aku yang merasa tidak memiliki kemampuan yang mumpuni yang akan menyokongku untuk dekat dengan definisi "sukses" orang-orang, aku yang sedang tidak lagi berharap dapat menjadi seorang penulis karena seringnya mendapat penolakkan dari penerbit, melihat cuitan penerbit yang kuikuti sejak lama di Twitter. Cuitan itu berisi bahwa mereka sedang membutuhkan seorang penulis yang menulis naskah bergenre psikologi/motivasi. Aku membacanya dengan bingung dan ragu. Aku merenung sebentar, mungkin juga cukup lama karena keraguanku mulai merambat ke seluruh sel tubuh. Belum apa-apa, aku sudah meragukan diriku sendiri. 

Aku berpikir, barangkali cuitan itu seperti karpet merah yang Tuhan berikan sebagai alas dari jalanku menuju tujuan, sebuah kesempatan yang tidak boleh kulewatkan. Tetapi (selalu saja ada tetapi yang membuatku menilik kepada kekurangan dalam diri), aku tidak memiliki naskah yang bergenre seperti itu. Selama ini aku hanya menulis novel yang selalu saja ditolak, aku juga menulis puisi-puisi kecil yang menggelitik, dan juga cerpen-cerpen surealisme yang hanya kubenamkan dalam laptopku. Aku menimbang-nimbang penuh keraguan namun juga rasa penasaran. Penasaran karena aku ingin mencobanya. Katanya, kalau tidak dicoba kita tidak tahu berhasil atau tidaknya, bukan?

Satu hal yang membuatku tidak begitu rendah diri adalah dalam cuitan itu menyebutkan bahwa boleh saja mengirim outline terlebih dahulu. Meskipun demikian, aku tetap masih bimbang. Aku ingin mengajukan diri namun tidak tahu apa yang akan aku tulis, aku tidak tahu topik apa yang ingin aku angkat. Yang kutahu, aku hanya ingin tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang atau barangkali kesempatan yang kutemui.

Berbekal kenekatan (ini yang selalu kuandalkan jika aku tidak memiliki cukup persiapan), aku memutuskan untuk maju terus: aku akan mengajukan diri. Jujur saja, aku belum terpikirkan sama sekali akan menulis apa. Tapi paling tidak, bergerak saja dululah sebelum waktu yang diberikan habis sia-sia karena digerogoti keraguan. Saat itu, aku memang sedang tidak aktif menulis. Kegiatan kuliah yang menguras pikiranku seperti menguras pula kemampuanku menulis. Mungkin aku sedang di fase writer's block and reading slump. Aku benar-benar merasa jauh dari dunia kepenulisan saat itu. Dan hadirnya cuitan itu bagai sebuah cambukan untuk aku kembali menulisnya. 

Sepanjang waktu, aku selalu memikirkan apa yang akan aku tulis. Mencari-cari inspirasi ke sana kemari sambil melirik tanggal, mewanti-wanti keterlambatan dari tenggat waktu yang telah ditentukan. Kepalaku rasanya sudah tidak memiliki isi, kesemuanya telah kukeluarkan namun tidak juga mendapat satu topik yang akan kuangkat menjadi garis besar tulisanku.

Tiba-tiba, aku mengingat satu hal.

Pikiranku melangkah mundur ke tahun 2019. Saat itu, aku hidup sendirian di kota Jakarta sebagai seorang mahasiswa yang berasal dari Cikarang. Aku tinggal di sebuah kamar indekos kecil dengan kamar mandi dan dapur bersama. Aku tidak mengenal siapa-siapa dan tidak memiliki teman di sana. Meski Cikarang dan Jakarta tidak terbentang jarak yang jauh bak menyeberangi lautan, tetapi bagiku hidup sendiri tetap memiliki tantangannya sendiri. 

Aku pergi ke Jakarta dengan membawa segudang trauma yang masih membekas dari apa yang terjadi ketika di Cikarang, terkhusus permasalahan dengan teman. Katanyam semakin dewasa lingkaran pertemanan akan semakin menyempit. Rupanya hal itu pun terjadi kepadaku. Satu per satu teman yang dulu menjadi sandaranku berbagi keluh, berjalan ke arah pintu keluar dari hidupku. Hal itu berdampak buruk kepadaku, membuatku menjadi takut untuk mengenal orang baru. Aku menjadi tidak mudah percaya kepada siapa-siapa. Meski jauh di dalam lubuk hatiku tiap kali melihat sekumpulan orang rasanya ingin menjadi bagian dari mereka, tetapi ada rasa di mana aku tidak berani untuk memulai apa-apa saat itu. Membuka pembicaraan pun aku enggan. Saat itu, aku merasa berada di sudut dunia di mana hanya ada aku saja. Tidak ada seorang pun yang menginginkan aku. Seperti aku tak layak untuk dicinta atau sekadar ada di dunia.

Di masa aku menutup diri dan tidak memercayai orang baru, aku memilih untuk mengekspresikan diri di media sosial, khususnya Instagram. Nyaris setiap hari aku membuat story dan rutin menulis puisi yang berasal dari dalam hati. Aku merasa tak ada yang bisa kuajak bicara mengenai kegelisahanku, tak ada yang bisa kubagi keluh, dan tak ada bahu untuk tempatku merebahkan lelah. Dari sesaknya isi kepala dan dada, aku memilih menumpahkan semuanya itu lewat kata-kata. Sebab hanya itu yang kubisa. Sebab menulis adalah caraku bertahan hidup sejak dulu. Dan di Instagram semuanya tertuang.

Setelah kulihat-lihat story orang lain, ternyata bukan aku saja yang sedang merasakan kesedihan, kebingungan, dan kegelisahan karena masa transisi dari remaja ke dewasa muda. Kuperhatikan orang-orang sama terlukanya, sama lelahnya. Perasaan lelah terhadap kehidupan yang banyak sekali hal mengejutkan. Permasalahan silih berganti. Hal yang tidak pernah kutahu sebelumnya ada di dunia ini, ternyata sungguhan terjadi. Begitu banyak yang membuatku menganga.

Kadang-kadang sebagian orang relate dengan tulisan-tulisanku itu. Beberapa dari mereka mencurahkan isi hatinya melalui DM Instagram. Mereka meminta saran atau sekadar hanya ingin didengarkan. Mereka bilang, caraku mendengarkan dan memberi saran membuatnya tenang. Hatiku bagai taman-taman surga yang dipenuhi bunga dan kupu-kupu. Aku senang sekali mengetahui bahwa aku mampu membuat orang lain merasa lebih baik karena kata-kataku.

Aku merasa berguna.

Tidak berhenti di situ, tiap minggunya aku berinisiatif mengadakan sesi tanya jawab yang kunamai "Ruang Tenang". Sesi itu aku lakukan di Instagram Story dengan memanfaatkan fitur ask question. Dalam sesi itu, aku menanyakan kabar teman-teman online dan apa yang tengah mereka rasakan. Cukup banyak yang merespons, memberi tahu apa yang berkecamuk di dada mereka. Mayoritas mengatakan bahwa mereka sedih, lelah, kecewa, dan tidak kuat menjalani kehidupan mereka. Pilu membacanya, terkadang seperti membaca diriku sendiri. Ingin kupeluk satu per satu mereka yang sedang terluka hatinya dan kosong jiwanya. Aku ingin mengatakan bahwa, kau tak sendirian yang merasakan hal demikian.


Kita semua terluka.


Kutanggapi keluh mereka sesuai dengan sudut pandangku, melihatnya dari kacamataku, dari pengalaman yang terjadi dalam hidupku. Aku tahu aku masih sangat muda untuk dapat dikatakan memberikan motivasi, pengalaman hidupku belum banyak seperti tetua lainnya, tetapi itulah caraku sebagai manusia yang memiliki perasaan dan mencoba untuk memanusiakan manusia lainnya. Aku hanya berusaha mendengarkan mereka dan menempatkan diriku di posisi mereka. Aku tidak ingin menghakimi siapa-siapa, sebab kita tidak pernah tahu cerita di balik kehidupan seseorang. Mungkin hal itulah yang membuat mereka nyaman untuk bercerita kepadaku. Kemampuan mendengarkan seperti itu sudah kumiliki sejak sekolah dasar. Barangkali itu sebabnya aku kerap dipercaya sebagai tempat curahan hati orang-orang.

Lampu di kepalaku seketika bersinar. Aku mulai tahu apa yang akan aku tulis, paling tidak aku tahu judul buku yang akan aku ajukan. Ya, benar, Ruang Tenang. Aku mulai mencatat apa-apa saja topik yang akan kuangkat. Kesedihan yang berlarut-larut, kekecewaan kepada orang lain dan diri sendiri, kehilangan orang lain yang begitu disayangi dan kehilangan diri sendiri, kegagalan dalam hidup hingga menyalahkan keadaan, trauma masa kecil yang terus dibawa hingga dewasa, perasaan mati menjalani hidup, perasaan ingin mengakhiri hidup, perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan yang sulit diterjemahkan, insecurity, dibungkus menjadi satu kesatuan. Aku menyusunnya menjadi outline yang masih sangat berantakan. Dengan perasaan yang tidak berharap banyak akan diterima atau lolos karena kutahu aku terburu-buru dan tidak memiliki cukup persiapan.


Surel yang masuk pada tanggal 28 Mei 2021 membuatku melongo. Aku tertegun selama 10 detik. Ketidakpercayaan itu terlalu besar hingga aku tidak dapat merasakan kebahagiaan yang seharusnya ada dalam benak. Aku justru merasa bingung. Mungkin aku adalah manusia yang menjadikan bingung sebagai reaksi utamaku. Jujur saja, aku bingung harus bereaksi bagaimana.

Kemudian tim redaksi umum memintaku untuk menuliskan contoh tulisan seperti apa dari hasil outline yang kususun itu. Aku kebingungan. Ya, lagi-lagi aku kebingungan. Aku tidak tahu harus menulis apa. Aku tidak tahu harus berbagi kepada siapa berita yang membuatku sangat bingung ini. Aku kelimpungan mencari-cari ide tulisan supaya bisa menulis sesuai dengan outline. Aku si mudah panik, saat itu seperti hidup dalam goa yang berisi beruang madu. Aku tidak ingin mati dan mati-matian bertahan hidup dengan cara yang tidak kuketahui selain bernapas. Akhirnya, kuputuskan untuk: mulai menulis saja dulu. 

Aku merasa seperti manusia yang tidak memiliki isi kepala. Berpikir keras namun tidak ada hasil dari apa yang aku pikirkan. Tulisanku mulai kusulam ketika aku mengambil tangkapan layar Instagram stories sesi ruang tenang itu. Aku mengambil satu permasalahan yang kemudian kutuliskan. Dengan ragu, dengan tidak percaya diri, aku mengirimkan contoh tulisan itu. Aku sampai tutup mata ketika mengirimkannya karena menurutku tulisanku sangat berantakan dan aku merasa malu, tetapi aku ingin menuntaskan apa yang telah aku mulai.





Surel yang masuk tanggal 24 Juni 2021 kembali membuat mulutku terbuka. Kali ini aku berkaca-kaca. Aku berjingkrak, membuat variasi reaksi lain selain bingung. Bagaimana aku tidak berjingkrak, aku senang bukan main ketika aku dinyatakan akan memiliki sebuah buku fisik yang selama ini aku idam-idamkan.

Tidak pernah sebelumnya aku membaca kata lolos dari penerbit. Biasanya, aku selalu membaca mohon maaf yang membuatku gumoh hingga kini terbiasa. Aku sangat-sangat-sangat tidak menyangka ini bisa terjadi kepadaku.

Setelah proses panjang mengenai buku Ruang Tenang, kini izinkan aku memperkenalkan buku itu sendiri.

Ruang Tenang adalah buku yang lahir dari kegelisahan. Dalam buku ini, aku tidak menempatkan diri sebagai guru atau pelatih, aku lebih menempatkan diriku sebagai seorang teman yang berusaha mendengarkan dengan saksama dan memeluk hangat temanku yang menangis di sudut kamar. Sebab aku tahu betapa sesaknya dada ketika kita menangis di tengah malam dan tembok kamar tidak mampu memberikan pelukan hangat serta kata-kata penyemangat.

Aku tahu betapa terasa tidak adilnya dunia ketika satu per satu yang kumau tidak juga berwujud, semuanya semu dan lenyap. Aku tahu betapa pusingnya kepala memikirkan bagaimana atu-dua-tiga-empat-lima tahun ke depan, memikirkan aku akan menjadi apa nantinya, apakah menjadi orang yang gagal ataukah berhasil meraih kesuksesan. Aku tahu betapa tidak bergairahnya menjalani kehidupan yang terasa membosankan, begini-begini saja, tidak ada perkembangan. Aku tahu betapa sakitnya merasakan kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku tidak ingin kau melewati kepahitanmu sendirian, dan kutahu aku tidak bisa membentangkan tanganku yang hanya dua untuk memeluk semua orang. Maka dari itu, kulahirkan sebuah buku berjudul Ruang Tenang.


Sebuah buku yang kuharap dapat menemanimu ketika tersedu-sedan tengah malam di sudut kamar dan memelukmu dengan hangat.

 


Sore hari ketika pulang kerja sampingan saat libur semester, aku menjumpai bayi kucing yang lahir tanpa kutemani. Ibu dan nenekku yang mengurus kelahirannya. Seekor bayi kucing belang tiga, sudah kutebak jenis kelaminnya perempuan. Berbeda dari belang tiga yang sering kujumpai, bayi kucing itu memiliki warna putih, krem, dan abu-abu. Hari itu adalah tanggal 28 Maret 2021, hari di mana aku kembali menjadi ibu dari bayi kucing calico.

Dia kuberi nama Prosa Mariana. Adikku sering tertawa ketika kuberi nama belakang bayi kucing dengan nama manusia. Aku sengaja. Dan suku kata pertama dalam nama belakangnya adalah penggalan dari bulan kelahirannya. Maret. Mariana. Itu hanyalah caraku agar mudah mengingat bulan kelahirannya. Mengingat kapan ulang tahunnya. Meski terkadang tetap saja aku terlupa. Sementara Prosa kuberikan karena aku anak sastra dan gemat menuliskan puisi yang bagian dari prosa itu sendiri. Prosa begitu cantik seperti bait-bait puisi. Aku memanggilnya Oca atau Caca, atau Cadut, atau Encul. Apapun, aku gemar membuat panggilan-panggilan lucu kepada siapapun.

Oca tumbuh dengan baik. Ia sosok kucing yang lincah, bahkan sangat lincah. Ia tidak suka di kandang dan akan terus mengeong. Makannya banyak sekali, apapun doyan. Ketika orang lain sedang makan, Oca akan menghampiri dan menunggu di bawahnya. Setiap kali kuberi makan ayam rebus, ia yang paling cepat habis. Dan ketika kusuapi, ia akan mengambil tanganku dengan kedua kaki depannya tanpa cakaran sedikit pun. Kucing yang menggemaskan.

Banyak orang di sekitar rumahku yang mengenalnya karena ia sering kali di luar rumah. Bermain ke sana kemari dengan lincahnya dan tatapan mata bulatnya yang menggemaskan. Banyak orang yang menyukainya dan menanyakan keberadaannya jika ia tidak nampak sehari pun. Itu karena Oca dekat dengan orang-orang dan selalu bersedia untuk dielus dan diajak bermain. Ia tidak takut orang, ia senang menggusal kepada siapapun. Terlebih kepada anak-anak sebaya adikku yang mengajaknya bermain, ia semakin senang berada di luar.

Ketika siang, ia akan tidur seharian. Tidur di teras atau di bawah motor, atau di kamarku. Ketika azan Maghrib berkumandang, ia dengan sigap pergi ke luar rumah untuk melanjutkan aksinya. Berkelana entah ke mana, dan pulang-pulang membawa kecoa. Terkadang ia membawa belalang, jangkrik, atau apapun yang ia temui di luar sana. Kalau tidak, ia akan merebahkan diri di samping rumah, di bawah jemuran. 

Namun, di luar tidak selamanya menyenangkan karena virus bertebaran di sana. Telinga Oca memiliki banyak luka. Ia terus menggaruknya sehingga menghasilkan luka basah yang cukup parah. Kuobati dengan rajin dan hati-hati. Setiap pagi dan malam hingga perlahan waktu mempertemukan Oca pada kesembuhan. Telinganya kembali seperti semula, kembali cantik. Hanya tinggal menunggu rambutnya tumbuh kembali.

Musim hujan datang begitu saja, tanpa absen setiap harinya. Pagi panas, malam hujan deras. Atau sebaliknya. Cuaca tidak menentu membuat kucing-kucingku tidur dengan badan yang meringkuk. Rasanya ingin kupeluk mereka satu per satu. Meski begitu, nafsu makan tetap terjaga. Oca makan seperti biasanya dengan nafsu makan yang tinggi dan yang paling cepat habis.

Malam itu, setelah makan wet food, aku membawa Oca ke kandang untuk tidur karena ia terlihat meringkuk di atas sofa. Sebelum meletakkannya tidak lupa aku ampar daster nenekku yang sudah tidak terpakai untuk alas tidur. Setelah memasuki kandang, Oca gegas tertidur. Kutaruh minum dan makanannya untuk persediaan tengah malam barangkali ia lapar. Karena biasanya, aku sering mendengar bunyi gemeletuk Oca mengunyah makanan pada tengah malam atau menuju Subuh.

Namun paginya kulihat makanan dan minuman itu utuh. Tidak tersentuh. Oca tidak minum dan makan semalaman. Aku mulai khawatir karena tidak biasanya ia tidak memakan makanannya. Sehabis mandi kuniatkan untuk membeli wet food kembali. Kuberikan sepiring wet food tepat di hadapannya, namun Oca tidak merespons sedikit pun. Biasanya, ketika aku mengambil piring saja ia sudah mengeong dan mneghampiriku. Tetapi saat itu tidak, ia hanya diam saja sambil meringkuk dan tidak mengindahkan makanan di hadapannya. Aku semakin khawatir. Kupegang tubuhnya terasa begitu panas. Rupanya Oca demam. Kucubit kulitnya untuk memastikan apakah dia dehidrasi, syukurlah tidak. Aku masih punya harapan. 

Aku berusaha untuk memberinya minum dan makan, meski beberapa kali ia muntahkan kembali. Aku pantang menyerah. Setiap jam kuberi ia minum. Setiap tiga jam kuberi ia makan. Ia tidak muntah. Aku mengucap syukur. Kuberikan ia air kelapa hijau untuk meredakan demamnya. Esoknya demamnya turun. Namun, terlampau turun. Kupegang telinga, telapak kaki, dan ekornya dingin. Wajah Oca semakin murung. Hatiku bergetar, takut. Firasat buruk seperti terbisiki ke telingaku, namun aku menepisnya jauh-jauh. Kuberi ia makan lagi, ia tidak memuntahinya.

Tengah hari, aku tidur untuk mengistirahatkan diriku dari lelahnya kekhawatiran. Kubiarkan Oca di kamarku dengan pintu tertutup. Aku tak ingin ia semakin kedinginan. Sorenya aku bangun, pukul tiga waktu ia makan. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, pandangan yang nanar, dan kaki yang terhuyung, aku membuka pintu kamarku untuk bersiap menyapa Oca. Betapa kagetnya aku ketika mendapati Oca telah kaku dengan mata yang sedikit terbuka. Minumnya tumpah dan makanannya berantakan. Hatiku mencelus, sakit sekali melihatnya dalam kondisi seperti itu.

Kuberi tahu orang rumah, kepada nenekku yang sedang masak, dan kepada ibuku yang sedang di kamarnya. Aku gemetar, tidak sanggup memegang Oca untuk terakhir kalinya. Air mata belum satu pun menetes. Aku masih dilanda kebingungan. Aku masih tak mengerti harus berbuat apa. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat kini. Hari ini, sore tadi, tanggal 16 Februari 2022 Oca meninggalkanku dalam usia yang belum genap setahun. 

Aku gegas mengambil sehelai kain di jemuran untuk membungkus tubuhnya. Ibuku gegas meminjam pacul kepada tetangga dan menggali liang lahat untuk Oca. Kuelus-elus tubuh kaku dan dinginnya untuk terakhir kali. Kurapatkan matanya. Aku meminta maaf kepadanya untuk apa yang telah aku lakukan yang mungkin belum sesuai dengan keinginannya. Aku meminta maaf karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuknya. Aku meminta maaf karena aku tidak bisa apa-apa, Tuhanlah yang mampu menyembuhkannya. Aku meminta maaf karena hanya bisa sampai sini saja menjaganya dan bermain dengannya. 

Usai menguburkannya, aku mencuci kandangnya di kamar mandi. Tanpa bisa kutahan lagi, tangisku pecah di sana. Pecah. Sangat pecah menjadi kepingan tajam yang menyakitkan. Aku senang karena tidak ada yang menyuruhku untuk tidak menangis dan melupakannya, justru aku dibiarkan untuk menangis, meringankan hatiku yang terasa berat dan sesak. Aku tidak pernah tahu bagaimana caranya menghadapi kehilangan. Aku tidak pernah yakin bisa tegar setelah kehilangan. Perasaan merasa bersalah, merasa tak layak, selalu menghantuiku. Aku ingin tahu bagaimana caranya mengatasi rasa sakit atas kehilangan dan merelakan dengan waktu yang singkat.

Pada akhirnya aku berpikir bahwa hidupnya bukanlah milikku dan miliknya sendiri. Itu adalah milik Tuhan. Dia yang menentukan kapan makhluk hidup akan kembali kepadanya dan dalam kondisi yang seperti apa. Pada akhirnya aku merelakan Oca pergi atas kebaikannya sendiri, supaya ia tidak perlu tersiksa atas rasa sakit yang dideritanya meski akupun tersiksa atas kepergiannya. Pada akhirnya aku menganggap ini adalah bahan ajar untukku bisa lebih sabar dan ikhlas atas apa-apa yang tidak akan selamanya ada di dunia.

Aku percaya, kini Oca pasti dalam kondisi yang lebih baik. Bermain di surga dan makan makanan enak di sana. Oca pasti memiliki banyak teman dan betah di sana. Ia bisa rebahan di reremputan yang hijau. Oca pasti lebih bahagia. 


Oca, selamat jalan sayangku. Kamu selalu dirindukan. Kita jumpa lagi di kehidupan yang lainnya.



Masih kuingat dengan jelas kegalauanku pada masa akhir SMA, langkah yang mana yang akan aku ambil untuk kutempuh pada episode hidup selanjutnya. Aku bukanlah sosok yang mempersiapkan perkuliahan dengan baik, malahan tergolong sebagai siswa santai yang terlihat mengikut saja ke mana hidup akan membawaku. Meski begitu, aku tetap memikirkan bagian-bagian yang kuinginkan untuk disisipkan ke dalam hidupku.

Aku terbilang tidak mencari tahu banyak jurusan yang sesuai minatku. Hanya saja, ketika awal masuk SMA aku berpikir akan mengambil Sastra Inggris. Alasanya sederhana, karena aku suka mempelajari bahasa asing. Kemudian itu tak bertahan lama ketika akhirnya aku jatuh hati pada jurusan Psikologi. Masih dengan alasan yang sederhana, aku suka mendalami karakteristik orang lain. Dan aku berpikir, mungkin itu dipelajari di sana.

Beberapa ucapan teman memengaruhiku. Menyebut-nyebut prospek kerja, yang juga tidak aku pikirkan secara matang. Maksudku, akan bekerja di mana dan menjadi apa secara gamblang disusun dengan rapi seperti orang-orang. Aku tidak seperti itu. Yang kutahu saat itu aku ingin menjadi penulis yang memiliki banyak buku hanya karena aku selalu menumpahkan emosiku dalam bentuk tulisan. Itu saja. Tidak secara jelas aku pikirkan bekerja di mana, di perusahaan ini itu, di kota ini itu. Tidak.

Aku semakin dikelilingi kegalauan ketika teman-temanku berhamburan sibuk menyusun masa depannya. Sedangkan aku, tidak memiliki tujuan yang spesifik. Aku hanya memiliki tujuan yang umum. Itu semata aku tidak ingin mengecewakan diriku karena kerap ditolak beberapa penerbit. Semua semakin membingungkan.

Sebelum akhirnya berlabuh di sastra Indonesia, aku sempat di tengah-tengah jembatan goyang yang ujung kanan kirinya adalah sastra Indonesia dan ilmu komunikasi. Entah, ilmu komunikasi pun karena aku lagi-lagi terpengaruh oleh temanku dan kupikir itu jurusan yang "menjanjikan". Sebab kutahu aku takkan cocok berada di tengah-tengah jurusan yang membahas perpolitikan. Terlalu memusingkan dan menguras energi bagiku. Satu-satunya yang membuatku melirikkan mata hanyalah sastra Indonesia. Seperti ada getar tersendiri. Dan perasaan ingin menyelami.

Sebelumnya, aku memang tipe orang yang pemikir. Dari hal besar sampai hal kecil yang mungkin tidak penting aku pikirkan: overthink. Terkadang aku merasa itu baik, terkadang pula aku merasa itu buruk. Selama ini aku lebih merasa banyak dampak buruknya.

Pemikiran-pemikiran aku ini tidak pernah tersalurkan jadi sebuah teori, diskusi, atau bahkan sebuah kalimat. Pemikiran itu hanya menjadi pemikiran yang terus berputar di kepalaku. Aku memikirkan hal-hal itu seorang diri. Bertanya kenapa ke diriku yang juga tidak tahu jawabannya. Lama-lama aku geregetan karena merasa nggak punya seseorang yang bisa aku ajak diskusi mengenai apa yang gue pikirkan. Tengok ke kanan-kiri orang-orang di sekitar gue nggak punya ketertarikan yang sama. Sampai gue memutuskan untuk mencari tahu semuanya sendiri.

Hal yang paling bisa aku lakukan adalah membaca. Niatku dalam membaca adalah untuk menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di benak dan pemikiran-pemikiran yang tidak terpecahkan.


Lelucon kehidupan baru saja terjadi. Syukurnya, ini adalah hal yang menggembirakan. Biasanya, hidup selalu mengajak bercanda yang memunculkan kemuakan. Namun, kali ini tidak.
Sekitar 9 tahun lalu (wow, sudah lama sekali!), tepatnya 2013, aku dan keluargaku pindah rumah meskipun hanya berbeda kecamatan saja. Hal itu juga membuatku akhirnya memutuskan untuk pindah sekolah ke kecamatan yang sama dengan rumahku. Jarak tempuh yang jauh membuatku menyerah mempertahankan sekolah lamaku. Bangun lebih pagi dan sampai rumah lebih sore membuatku tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan tugas atau sekadar istirahat. Aku kelelahan.

Sebelum memutuskan pindah sekolah, hubunganku dengan seorang teman sekelas yang semula dekat tiba-tiba saja jadi merenggang. Saat itu, aku tidak tahu apa penyebabnya. Dia tiba-tiba menjauh. Aku yang dulu begitu cuek, tidak terlalu mengindahkan perubahan sikapnya kepadaku. Kami benar-benar tak saling bicara lagi. Sampai akhirnya aku pindah sekolah. Pindah tanpa ada kesan dan salam perpisahan.

Baru kutahu ia mengirimkan pesan padaku di Facebook setelah satu tahun kemudian aku membukanya di laptop. Saat itu aku sudah jarang memainkan Facebook, di HP-ku pun hanya ada aplikasi FB Lite di mana untuk melihat pesan masuk harus mengunduh aplikasi Messenger terlebih dahulu. HP-ku yang saat itu tidak terlalu bagus dan memorinya penuh, hanya bisa mengunduh FB Lite saja. Pesan yang ia kirimkan padaku isinya begini,

"Ki, lu marah ya sama gue?"

Aku terperangah saat membacanya. Kukira saat itu ia yang sengaja menjauhiku karena sesuatu yang tak ingin kutahu karena aku terlampau cuek. Rupanya ia mengira aku marah kepadanya dan tidak berani bertanya langsung kepadaku. Memang, ia tipikal orang yang halus dan mudah tersentuh perasaannya. Berbeda denganku saat itu yang tidak memikirkan perasaan orang. Sangat masa bodoh.
Pesan itu tidak kubalas karena aku merasa telat dan tidak pantas saja membalas pe


Aku penasaran, apa yang sedang Tuhan pikirkan ketika merencanakan pertemuan kita? Apakah seperti yang kau dan aku pikirkan? Atau seperti yang kau dan aku rasakan? Apakah memaknai kehadiranmu di hidupku sudah sesuai dengan keinginan Tuhan tentang hidupmu? Tentang hidupku? Aku hanya penasaran. Tapi, boleh saja jika rasa penasaranku ini mendapat kepuasan. Barangkali aku berhasil memaknai maksud dan tujuan pertemuan kita dengan baik. 

Ingatkah kau kali pertama kita bertemu? Kurasa kau yang lebih jago mengingatnya. Kau yang memiliki daya ingat lebih baik daripada aku di berbagai kejadian. Kau yang selalu mengingatkanku sesuatu yang kulupa mengenai kita. Lucu, kau tidak pernah marah sedikit pun ketika mengingatkannya. Hanya menyenggolku dengan kata-kata bahwa aku tak mengingatmu dengan baik. Tidak, bukan seperti itu. Aku sangat-sangat mengingatmu, mengingat dirimu sebagai seseorang yang teramat baik bagiku. Hanya saja, kau tahu, bukan, beberapa hal ingin sekali aku lenyapkan dari kepalaku. Tetapi, aku masih belum mampu, dan itu yang selalu mengambil alih perhatianku. Maafkan aku, ya. Aku akan mencoba mengingatmu lebih baik. Detail-detail kecil darimu.

Setelah lama mengenalmu, aku baru tahu apa makanan kesukaanmu. Bodohnya aku! Terlalu memfokuskan diri, memfokuskan kita pada sesuatu yang tidak perlu. Sesederhana makanan kesukaanmu saja, aku baru mengetahuinya akhir-akhir ini ketika aku berusaha menjadi seseorang yang mendengarkanmu dengan baik. Ya, mendengarkanmu. Sebab, aku terlampau lebih sering mendengarkan orang lain, dan tidak pernah mendengarkanmu dengan kepala dingin. Maafkan aku lagi, ya. Meski kutahu, tanpa kuminta kau akan memberikannya. Kau manusia yang tidak pernah kehabisan kantung maaf. Hebat! Aku belajar banyak darimu.

Bertemu denganmu adalah pelajaran paling berharga dalam hidupku. Pelajaran yang tidak pernah aku temukan dari mana pun dan siapa pun sebelumnya. Kau hadir saat itu seperti disengaja Tuhan untuk menamparku dalam balutan pelukan, memarahiku dalam lembutnya tuturmu. Kelamahlembutan yang berhasil menguatkanku. Kau membuka mataku, bahwa kita tak perlu menyentak-nyentak ketika kesal pada seseorang. Kau pun membuka mataku, bahwa ketenangan, keheningan, dan kelemahlembutan jauh lebih bisa menyalurkan amarah dengan arif.

Kali pertama bertemu denganmu, aku sudah melihat pancaran matamu yang bening dan seperti kubangan melambangkan ketulusan yang nyata. Kebaikan yang tak pamrih dan kasih yang begitu besar dan sabar. Kau memiliki jiwa seluas samudra yang bening dan dalam. 

Darimu aku mengenal cinta seperti apa yang rasanya hangat namun menyejukkan. Darimu aku merasa tidak terbuang dan selalu diinginkan. Darimu aku jadi tahu diri, lebih sering mengucapkan maaf dan terima kasih.

Aku terkadang berpikir, "Kok, bisa, ya, seseorang sepertimu ada di hidupku?". Seringnya, aku tidak percaya dengan keberadaanmu yang terasa sureal. Tetapi, kamu ada. Ada di hidupku.

Lucunya, kau selalu berkata aku baik meski aku tak merasa begitu. Dan beruntung bertemu denganku, padahal akulah yang beruntung mendapatkan banyak pelajaran darimu. Apakah yang kau pelajari dariku? Apakah yang membuatmu merasa beruntung bertemu denganku? Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kepercayaan diri yang tinggi. 

Jiwamu yang seluas samudra itu, kupercaya kau akan dapat diterima di mana saja. Di belahan dunia yang terlihat begitu kejamnya, kau dapat bertahan dengan baik. Tidak banyak orang yang dianugerahi kantung maaf yang terlihat tak pernah kehabisan itu. Kupercaya pula bahwa kau akan menemukan kehidupan yang kau idamkan, meski tak bersamaku. Kita hanya bisa beriringan saja, kemudian melanjutkan kehidupan kita masing-masing. Saling mendukung, berkabar, dan sesekali melayangkan keluhan. Sesulit apapun hidupmu, aku percaya kau mampu laluinya.

Jiwamu yang seluas samudra itu, kupercaya akan selalu mendatangkan kebaikan untukmu. Dikelilingi orang-orang baik dan perlindungan dari Tuhan.

Jiwamu yang seluas samudra itu, akan selalu kuselami. Jiwa itu yang membantuku belajar berenang. Dan aku ingin lebih piawai. Kuselami kedalaman itu, yang meski tenang namun penuh ketegasan. Ajek berdiri di prinsip hidup yang kau genggam.

Jiwamu yang seluas samudra itu, semoga selalu didekatkan dengan bahagia.


 Suatu waktu di tengah-tengah kebingunganku tidak ada satu pun penerbit yang menerima naskahku, aku mencari daftar penerbit yang barangkali berpotensi menerbitkan naskahku. Kubaca daftar-daftar penerbit yang telah menolak naskahku. 

Pandanganku tertuju pada satu nama. Entah, aku seperti mendapatkan getar yang menandakan bahwa penerbit itu yang akan menerbitkan naskahku. Tetapi, aku saat itu tak cukup yakin dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku tak pernah mendapatkan kilatan keyakinan pada kemampuanku menulis. Kupikir menulisku hanya sekadar hobi, dan tak layak untuk menjadi tulisan yang ciamik serta dibaca banyak orang.

Tahun 2021, aku tidak sengaja membaca sebuah tweet dari penerbit yang berisikan bahwa dicari seorang penulis yang akan menuliskan sebuah naskah motivasi dan psikologi. Lagi-lagi, aku ragu. Sebab, aku tidak memiliki naskah yang seperti itu. Hanya ada fosil-fosil curhatan dan keluhan teman-temanku yang entah mengapa memercayai cerita hidup dan perasaannya untuk dibagikan kepadaku.

Sejak dulu, sejak Sekolah Dasar, berlanjut ke SMP dan SMA, hingga kini aku selalu menjadi pendengar orang-orang terdekatku mengenai kesedihan, kesakitan, dan kesenangannya. Aku yang tidak banyak cerita secara lisan, lebih senang mendengarkan orang lain bercerita. Melihat matanya berkilat-kilat karena senang terhadap sesuatu, melihat matanya berkaca-kaca karena teringat kembali yang membuat hatinya tergores, seperti menjadi pengisi energi tersendiri bagiku. Interaksi-interaksi itu mampu memberikanku jendela dan kacamata baru. Melihat berbagai perspektif pada suatu masalah yang sama.

Berbekal dari itu semua, berbekal keluhan dan kekhawatiran orang-orang, aku memberanikan diri untuk menyusun outline yang belum begitu tergambar akan seperti apa naskah itu nanti. Karena, aku memang tidak memiliki naskah utuh, aku hanya mengandalkan topik-topik pembicaraan deeptalk antara aku dan teman-temanku, antara aku dan diriku sendiri.

Selain itu, beberapa waktu aku pernah mengadakan sesi curhat online di Instagram. Beberapa bertanya padaku, beberapa hanya menginginkan kata-kata yang hangat untuk meredakan cemasnya. Jujur, itu bagai dua kutub sekaligus bagiku, memberi dan menguras energi. Aku senang mendengarkan, tetapi terkadang aku pun butuh didengarkan ketika aku sedang merasa tidak baik-baik saja. Dari kekhawatiran mereka dan kekhawatiranku sendiri, aku perlahan menentukan apa yang akan aku tulis.

Surprisingly, outline-ku diterima. Kaget! Betul, aku benar-benar kaget. Aku tak menaruh banyak ekspektasi pada saat itu, karena aku tak memiliki naskah dengan genre yang sesuai. Aku pun tidak berpikir outline yang kubuat akan merebut hati redaktur. Tahu-tahunya, itu jalanku untuk menerbitkan buku. Jalan pertamaku.

Dan, itu adalah penerbit yang sama dengan nama penerbit yang memberiku getaran. 

Aku benar-benar tidak boleh mengabaikan bisikan hatiku.

Awalnya, aku tidak percaya. Betul-betul di luar dugaanku. Setelah saling membalas surel, aku diminta untuk memberikan contoh tulisanku. 


 Halo 2022...

aku belum sempat menyapamu dengan sengaja, menyambutmu pun tidak begitu penuh gairah. Sebab aku takut terlalu menaruh harapan tinggi padamu yang akan membuatku terjerembab ke dalam lubang kekecewaan. Lagi dan lagi. Kau tahu sendiri, bukan, mengatasi kekecewaan begitu berat dilakukan?

Maka dari itulah, aku tidak menaruh banyak ekspektasi pada tahun ini. Bukan berarti aku menjadi seseorang yang pesimistis. Bukan. Kau pun tahu seberapa idealisnya aku. Aku tetap memiliki harapan-harapan di tahun ini, tentang mimpi-mimpiku; masa depanku; diriku sendiri; dan orang-orang terkasih. Aku ingin yang terbaik, tentu saja. Siapa yang tidak menginginkan sesuatu yang terbaik terjadi pada diri dan kehidupannya? Aku pun satu di antara mereka. 

Hanya saja, aku lelah.

Aku lelah berlari kencang mengejar keinginanku dengan api yang menggebu-gebu kemudian kenyataan yang tidak sesuai ekspektasiku membakarku habis menjadi debu. Hancur.

 



Aku mencoba mengingat kembali apa-apa yang terjadi pada tahun lalu. Tahun 2021. Apa saja yang menyenangkan dan menghancurkan. Siapa saja yang datang dan hilang. Di mana saja kakiku berkunjung dan merasa pulang. Kapan saja aku merasa tenang dan terguncang. Bagaimana saja upayaku menenangkan diri dan melewati hari.

2021 kelam yang berwarna-warni, pun cerah yang hitam legam. Keduanya terjadi seperti imbang. Semakin meyakinkanku bahwa senang dan sedih, derita dan bahagia, saling berdampingan. Tidak ada yang benar-benar unggul salah satunya. Bahwa bumi ini berputar tidak hanya untuk satu manusia. Jatuh bangunnya pada setiap kehidupan manusia akan selalu ada. Kita semua merasakannya.

Awal tahun, tidak terlalu baik untuk diulang, namun baik untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Pelajaran paling penting bagiku saat itu adalah bagaimana cara mengelola emosi. Mengelola emosi bagai sebuah pelajaran yang tak berkesudah. Akan selalu ada masa yang mempertemukanku dengannya. Dengan sebuah emosi yang memuncak dan hendak meledak. Disitulah aku diminta untuk mengelolanya supaya emosiku tak mengeluarkan api yang membakar dikiriku dan orang lain. Sulit, sulit sekali. Tetapi, aku terus belajar untuk mengelolanya, dan bukan memendamnya.

Berada di suasana rumah yang baru, menjadi salah satu kebaikan tersendiri. Meski, kami masih tak bisa lari dari rantainya. Rantai yang ia lilit di leher kami. Itu pun menjadi satu yang aku sesalkan, sedihkan, dan terus bertanya mengapa dan kapan. Mengapa harus begini? Dan kapan akan berakhir? Yaaa... hal itu tak pernah mudah dilalui. Kami belum juga bertemu pada titik akhirnya. Penghujung dari semua kelelahan.

Newer Posts
Older Posts

Pemilik Ruang


Halo, selamat datang di Ruang Tenang! Senang mengetahuimu mengunjungi ruanganku, tempat aku melarikan diri dari kegaduhan dunia. Di sini kau akan bertemu sekat-sekat ruang dalam kepalaku yang begitu sesak menjadi untaian kata-kata.

Mari Berteman

Labels

Berdikari Jurnal Karya Teman Hidup

Blog Archive

  • ▼  2022 (9)
    • ▼  September (1)
      • Rangkul Bayangan (Sebuah Usaha Mendekati Diri Send...
    • ►  Agustus (1)
      • Buku Ruang Tenang Karya Sky Cantiki, Lahir dari Ke...
    • ►  Februari (1)
      • Hari Bersedih: Selamat Jalan Prosa
    • ►  Januari (6)
      • Menjadi Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Membenamkan Kenangan Buruk
      • Jiwa Seluas Samudra
      • Menulis untuk Bertahan Hidup
      • Mengecilkan Ekspektasi
      • Kilas Balik
  • ►  2021 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)


FOLLOW ME @INSTAGRAM





Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates