Hari Bersedih: Selamat Jalan Prosa
Sore hari ketika pulang kerja sampingan saat libur semester, aku menjumpai bayi kucing yang lahir tanpa kutemani. Ibu dan nenekku yang mengurus kelahirannya. Seekor bayi kucing belang tiga, sudah kutebak jenis kelaminnya perempuan. Berbeda dari belang tiga yang sering kujumpai, bayi kucing itu memiliki warna putih, krem, dan abu-abu. Hari itu adalah tanggal 28 Maret 2021, hari di mana aku kembali menjadi ibu dari bayi kucing calico.
Dia kuberi nama Prosa Mariana. Adikku sering tertawa ketika kuberi nama belakang bayi kucing dengan nama manusia. Aku sengaja. Dan suku kata pertama dalam nama belakangnya adalah penggalan dari bulan kelahirannya. Maret. Mariana. Itu hanyalah caraku agar mudah mengingat bulan kelahirannya. Mengingat kapan ulang tahunnya. Meski terkadang tetap saja aku terlupa. Sementara Prosa kuberikan karena aku anak sastra dan gemat menuliskan puisi yang bagian dari prosa itu sendiri. Prosa begitu cantik seperti bait-bait puisi. Aku memanggilnya Oca atau Caca, atau Cadut, atau Encul. Apapun, aku gemar membuat panggilan-panggilan lucu kepada siapapun.
Oca tumbuh dengan baik. Ia sosok kucing yang lincah, bahkan sangat lincah. Ia tidak suka di kandang dan akan terus mengeong. Makannya banyak sekali, apapun doyan. Ketika orang lain sedang makan, Oca akan menghampiri dan menunggu di bawahnya. Setiap kali kuberi makan ayam rebus, ia yang paling cepat habis. Dan ketika kusuapi, ia akan mengambil tanganku dengan kedua kaki depannya tanpa cakaran sedikit pun. Kucing yang menggemaskan.
Banyak orang di sekitar rumahku yang mengenalnya karena ia sering kali di luar rumah. Bermain ke sana kemari dengan lincahnya dan tatapan mata bulatnya yang menggemaskan. Banyak orang yang menyukainya dan menanyakan keberadaannya jika ia tidak nampak sehari pun. Itu karena Oca dekat dengan orang-orang dan selalu bersedia untuk dielus dan diajak bermain. Ia tidak takut orang, ia senang menggusal kepada siapapun. Terlebih kepada anak-anak sebaya adikku yang mengajaknya bermain, ia semakin senang berada di luar.
Ketika siang, ia akan tidur seharian. Tidur di teras atau di bawah motor, atau di kamarku. Ketika azan Maghrib berkumandang, ia dengan sigap pergi ke luar rumah untuk melanjutkan aksinya. Berkelana entah ke mana, dan pulang-pulang membawa kecoa. Terkadang ia membawa belalang, jangkrik, atau apapun yang ia temui di luar sana. Kalau tidak, ia akan merebahkan diri di samping rumah, di bawah jemuran.
Namun, di luar tidak selamanya menyenangkan karena virus bertebaran di sana. Telinga Oca memiliki banyak luka. Ia terus menggaruknya sehingga menghasilkan luka basah yang cukup parah. Kuobati dengan rajin dan hati-hati. Setiap pagi dan malam hingga perlahan waktu mempertemukan Oca pada kesembuhan. Telinganya kembali seperti semula, kembali cantik. Hanya tinggal menunggu rambutnya tumbuh kembali.
Musim hujan datang begitu saja, tanpa absen setiap harinya. Pagi panas, malam hujan deras. Atau sebaliknya. Cuaca tidak menentu membuat kucing-kucingku tidur dengan badan yang meringkuk. Rasanya ingin kupeluk mereka satu per satu. Meski begitu, nafsu makan tetap terjaga. Oca makan seperti biasanya dengan nafsu makan yang tinggi dan yang paling cepat habis.
Malam itu, setelah makan wet food, aku membawa Oca ke kandang untuk tidur karena ia terlihat meringkuk di atas sofa. Sebelum meletakkannya tidak lupa aku ampar daster nenekku yang sudah tidak terpakai untuk alas tidur. Setelah memasuki kandang, Oca gegas tertidur. Kutaruh minum dan makanannya untuk persediaan tengah malam barangkali ia lapar. Karena biasanya, aku sering mendengar bunyi gemeletuk Oca mengunyah makanan pada tengah malam atau menuju Subuh.
Namun paginya kulihat makanan dan minuman itu utuh. Tidak tersentuh. Oca tidak minum dan makan semalaman. Aku mulai khawatir karena tidak biasanya ia tidak memakan makanannya. Sehabis mandi kuniatkan untuk membeli wet food kembali. Kuberikan sepiring wet food tepat di hadapannya, namun Oca tidak merespons sedikit pun. Biasanya, ketika aku mengambil piring saja ia sudah mengeong dan mneghampiriku. Tetapi saat itu tidak, ia hanya diam saja sambil meringkuk dan tidak mengindahkan makanan di hadapannya. Aku semakin khawatir. Kupegang tubuhnya terasa begitu panas. Rupanya Oca demam. Kucubit kulitnya untuk memastikan apakah dia dehidrasi, syukurlah tidak. Aku masih punya harapan.
Aku berusaha untuk memberinya minum dan makan, meski beberapa kali ia muntahkan kembali. Aku pantang menyerah. Setiap jam kuberi ia minum. Setiap tiga jam kuberi ia makan. Ia tidak muntah. Aku mengucap syukur. Kuberikan ia air kelapa hijau untuk meredakan demamnya. Esoknya demamnya turun. Namun, terlampau turun. Kupegang telinga, telapak kaki, dan ekornya dingin. Wajah Oca semakin murung. Hatiku bergetar, takut. Firasat buruk seperti terbisiki ke telingaku, namun aku menepisnya jauh-jauh. Kuberi ia makan lagi, ia tidak memuntahinya.
Tengah hari, aku tidur untuk mengistirahatkan diriku dari lelahnya kekhawatiran. Kubiarkan Oca di kamarku dengan pintu tertutup. Aku tak ingin ia semakin kedinginan. Sorenya aku bangun, pukul tiga waktu ia makan. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, pandangan yang nanar, dan kaki yang terhuyung, aku membuka pintu kamarku untuk bersiap menyapa Oca. Betapa kagetnya aku ketika mendapati Oca telah kaku dengan mata yang sedikit terbuka. Minumnya tumpah dan makanannya berantakan. Hatiku mencelus, sakit sekali melihatnya dalam kondisi seperti itu.
Kuberi tahu orang rumah, kepada nenekku yang sedang masak, dan kepada ibuku yang sedang di kamarnya. Aku gemetar, tidak sanggup memegang Oca untuk terakhir kalinya. Air mata belum satu pun menetes. Aku masih dilanda kebingungan. Aku masih tak mengerti harus berbuat apa. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat kini. Hari ini, sore tadi, tanggal 16 Februari 2022 Oca meninggalkanku dalam usia yang belum genap setahun.
Aku gegas mengambil sehelai kain di jemuran untuk membungkus tubuhnya. Ibuku gegas meminjam pacul kepada tetangga dan menggali liang lahat untuk Oca. Kuelus-elus tubuh kaku dan dinginnya untuk terakhir kali. Kurapatkan matanya. Aku meminta maaf kepadanya untuk apa yang telah aku lakukan yang mungkin belum sesuai dengan keinginannya. Aku meminta maaf karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuknya. Aku meminta maaf karena aku tidak bisa apa-apa, Tuhanlah yang mampu menyembuhkannya. Aku meminta maaf karena hanya bisa sampai sini saja menjaganya dan bermain dengannya.
Usai menguburkannya, aku mencuci kandangnya di kamar mandi. Tanpa bisa kutahan lagi, tangisku pecah di sana. Pecah. Sangat pecah menjadi kepingan tajam yang menyakitkan. Aku senang karena tidak ada yang menyuruhku untuk tidak menangis dan melupakannya, justru aku dibiarkan untuk menangis, meringankan hatiku yang terasa berat dan sesak. Aku tidak pernah tahu bagaimana caranya menghadapi kehilangan. Aku tidak pernah yakin bisa tegar setelah kehilangan. Perasaan merasa bersalah, merasa tak layak, selalu menghantuiku. Aku ingin tahu bagaimana caranya mengatasi rasa sakit atas kehilangan dan merelakan dengan waktu yang singkat.
Pada akhirnya aku berpikir bahwa hidupnya bukanlah milikku dan miliknya sendiri. Itu adalah milik Tuhan. Dia yang menentukan kapan makhluk hidup akan kembali kepadanya dan dalam kondisi yang seperti apa. Pada akhirnya aku merelakan Oca pergi atas kebaikannya sendiri, supaya ia tidak perlu tersiksa atas rasa sakit yang dideritanya meski akupun tersiksa atas kepergiannya. Pada akhirnya aku menganggap ini adalah bahan ajar untukku bisa lebih sabar dan ikhlas atas apa-apa yang tidak akan selamanya ada di dunia.
Aku percaya, kini Oca pasti dalam kondisi yang lebih baik. Bermain di surga dan makan makanan enak di sana. Oca pasti memiliki banyak teman dan betah di sana. Ia bisa rebahan di reremputan yang hijau. Oca pasti lebih bahagia.
Oca, selamat jalan sayangku. Kamu selalu dirindukan. Kita jumpa lagi di kehidupan yang lainnya.
0 comment