Menjadi Mahasiswa Sastra Indonesia
Masih kuingat dengan jelas kegalauanku pada masa akhir SMA, langkah yang mana yang akan aku ambil untuk kutempuh pada episode hidup selanjutnya. Aku bukanlah sosok yang mempersiapkan perkuliahan dengan baik, malahan tergolong sebagai siswa santai yang terlihat mengikut saja ke mana hidup akan membawaku. Meski begitu, aku tetap memikirkan bagian-bagian yang kuinginkan untuk disisipkan ke dalam hidupku.
Aku terbilang tidak mencari tahu banyak jurusan yang sesuai minatku. Hanya saja, ketika awal masuk SMA aku berpikir akan mengambil Sastra Inggris. Alasanya sederhana, karena aku suka mempelajari bahasa asing. Kemudian itu tak bertahan lama ketika akhirnya aku jatuh hati pada jurusan Psikologi. Masih dengan alasan yang sederhana, aku suka mendalami karakteristik orang lain. Dan aku berpikir, mungkin itu dipelajari di sana.
Beberapa ucapan teman memengaruhiku. Menyebut-nyebut prospek kerja, yang juga tidak aku pikirkan secara matang. Maksudku, akan bekerja di mana dan menjadi apa secara gamblang disusun dengan rapi seperti orang-orang. Aku tidak seperti itu. Yang kutahu saat itu aku ingin menjadi penulis yang memiliki banyak buku hanya karena aku selalu menumpahkan emosiku dalam bentuk tulisan. Itu saja. Tidak secara jelas aku pikirkan bekerja di mana, di perusahaan ini itu, di kota ini itu. Tidak.
Aku semakin dikelilingi kegalauan ketika teman-temanku berhamburan sibuk menyusun masa depannya. Sedangkan aku, tidak memiliki tujuan yang spesifik. Aku hanya memiliki tujuan yang umum. Itu semata aku tidak ingin mengecewakan diriku karena kerap ditolak beberapa penerbit. Semua semakin membingungkan.
Sebelum akhirnya berlabuh di sastra Indonesia, aku sempat di tengah-tengah jembatan goyang yang ujung kanan kirinya adalah sastra Indonesia dan ilmu komunikasi. Entah, ilmu komunikasi pun karena aku lagi-lagi terpengaruh oleh temanku dan kupikir itu jurusan yang "menjanjikan". Sebab kutahu aku takkan cocok berada di tengah-tengah jurusan yang membahas perpolitikan. Terlalu memusingkan dan menguras energi bagiku. Satu-satunya yang membuatku melirikkan mata hanyalah sastra Indonesia. Seperti ada getar tersendiri. Dan perasaan ingin menyelami.
Sebelumnya, aku memang tipe orang yang pemikir. Dari hal besar sampai hal kecil yang mungkin tidak penting aku pikirkan: overthink. Terkadang aku merasa itu baik, terkadang pula aku merasa itu buruk. Selama ini aku lebih merasa banyak dampak buruknya.
Pemikiran-pemikiran aku ini tidak pernah tersalurkan jadi sebuah teori, diskusi, atau bahkan sebuah kalimat. Pemikiran itu hanya menjadi pemikiran yang terus berputar di kepalaku. Aku memikirkan hal-hal itu seorang diri. Bertanya kenapa ke diriku yang juga tidak tahu jawabannya. Lama-lama aku geregetan karena merasa nggak punya seseorang yang bisa aku ajak diskusi mengenai apa yang gue pikirkan. Tengok ke kanan-kiri orang-orang di sekitar gue nggak punya ketertarikan yang sama. Sampai gue memutuskan untuk mencari tahu semuanya sendiri.
Hal yang paling bisa aku lakukan adalah membaca. Niatku dalam membaca adalah untuk menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di benak dan pemikiran-pemikiran yang tidak terpecahkan.
0 comment