Rangkul Bayangan (Sebuah Usaha Mendekati Diri Sendiri)
Dewasa ini, kita rupanya semakin sering mempertanyakan diri sendiri. Merasa kurang dan tidak cukup akan sesuatu yang kita miliki, yang ada di diri sendiri. Seolah semua yang kita lihat di depan cermin adalah hal yang paling tidak kita sukai. Tak pernah puas apalagi bangga. Semuanya jauh dari apa yang kita harapkan.
Apa yang kutulis di bab ini tidak lain dan tidak bukan karena terinspirasi dari diriku sendiri. Aku yang tidak menyukai diriku, enggan bercermin. Menatap diriku sendiri rasanya selalu tidak puas dan hanya ingin marah-marah. Kecewa rasanya dulu yang selalu memenuhi dada. Seolah jauh sekali dengan bahagia.
Aku ingat, semuanya bermula ketika aku mulai beranjak remaja. Ketika memasuki usia remaja aku mulai tidak menyukai menatap diriku di cermin, yang padahal ketika aku masih kanak-kanak aku senang sekali melihat diriku di cermin. Sehabis mandi dengan bedak celemotan di sana-sini, aku menyisiri rambutku sambil menatap cermin. Lamat-lamat imajinasi tentang cita-citaku muncul di hadapanku. Membayangkan betapa indahnya menjadi orang dewasa yang kudamba. Aku akan menjadi orang dewasa yang bahagia.
Semuanya tidak bertahan lama ketika aku bangun tidur mendapati sebuah jerawat muncul di pipi. Aku benci itu. Ketidaksempurnaan yang ingin aku binasakan. Mencoba produk ini itu demi si jerawat mengganggu itu enyah dari mukaku. Wajahku sudah seperti kuali tukang gorengan, penuh dengan minyak membuat debu-debu yang berterbangan berlabuh di sana. Semakin hari wajahku agaknya makin menggelap. Kerudung yang kugunakan ketika sekolah membuat wajahku memiliki dua warna. Belang. Aku stres sekali melihat wajahku seperti itu. Kemudian enggan menatap diriku di cermin lagi. Semakin hari wajahku semakin tidak terawat. Jerawat-jerawat itu justru betah tinggal di sana.
Tidak hanya itu, berat badanku yang di atas ideal selalu mengganggu mataku. Bully-an dari orang sekitar seperti bahan bakar yang membuat rasa benciku kepada diriku sendiri semakin besar. Aku si gendut, hitam, dan jerawatan, semakin tertekan. Tiap bertemu orang yang dikomentari selalu saja berat badanku. Dikata-katai oleh laki-laki di kelas, membuatku semakin merasa bahwa diriku memang seburuk itu. Aku merasa tidak layak untuk dicintai ataupun sekadar ada di dunia. Kulihat teman-temanku tak begitu. Tidak memborong semua ketidaksempurnaan sepertiku. Aku mulai membanding-bandingkan diriku dan hidupku dengan diri dan kehidupan orang lain. Kebencian itu semakin besar hingga membuatku memutuskan untuk meminjam jiwa orang lain. Meminjam jiwa seorang teman yang sangat kusukai keseluruhan diri dan hidupnya. Aku ingin menjadi dirinya.
Bertahun-tahun aku berpura-pura menjadi orang lain demi bisa merasa bahagia. Tetapi, aku tidak kunjung bertemu dengan kelegaan yang sesungguhnya. Justru kecemasan-kecemasanlah yang selalu ada. Kebahagiaan seperti jauh sekali dari diriku. Meski haha-hihi, tetapi hatiku huhu huhu.
Pada akhirnya, aku berhenti menggunakan jiwa orang lain. Menghidupkan jiwaku sendiri, yang terkenal aneh dan lebih banyak diam. Aku bukanlah periang. Aku seorang yang sering menenggelamkan pikiran ke dalam imajinasi, bicara sendiri, tertawa sendiri, dan menulis lagi.
AKU MULAI MERASA BAHAGIA.
Bukan kebahagiaan yang besar seperti memenangkan lotre, hanya saja aku merasa lebih nyaman seperti itu. Seperti tidak ada beban. Seperti tak ada yang menekan. Aku bebas melakukan apapun yang kusuka. Tak memikirkan siapa-siapa.
Dari situlah aku menyadari bahwa hal pertama yang mendekatkan kita dengan bahagia adalah perasaan nyaman dengan diri sendiri. Ketika aku dan diriku sendiri saling membantu dan menemani, aku menjadi tidak terlalu ambil pusing jika tidak ada siapapun di sisi. Aku mulai menormalisasi kesendirianku ini. Kesendirian yang tadinya kuanggap sangat menyeramkan karena aku tidak ingin merasa kesepian dan tidak ada yang menginginkanku. Rupa-rupanya, kesendirian tidak sama dengan kesepian. Aku bisa jauh lebih mengenal diriku ketika aku memiliki waktu luang dengan diriku sendiri lebih banyak. Aku berdialog dengan diriku, mendiskusikan masalah, memecahkannya bersama, sampai saling terbuka menjelaskan apa yang aku inginkan selama ini dan apa yang ingin aku tuju.
Ketika itu, aku mulai nyaman untuk berpergian sendiri. Melihat-lihat sekeliling sambil menghidupkan daya pikir. Aku merenung, memaknai apa yang kulihat. Duduk-duduk di kursi trotoar sambil minum kopi murahan. Atau menonton bioskop seorang diri, makan di restoran sendiri, dan ke toko buku sendiri. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Pada awalnya, banyak sekali yang mencibirku seperti orang yang tidak punya teman. Ada juga yang mempertanyakan kepadaku bagaimana rasanya berpergian sendirian. Dengan lantang aku katakan, hal itu adalah hal terasyik di dunia.
Bab Rangkul Bayangan (Sebuah Usaha Mendekati Diri Sendiri) adalah sebagai pengingat untukku sendiri dan barangkali dapat menjadi langkah awal untukmu mendekati dirimu sendiri hingga kemudian kau bertemu dengan siapa dirimu. Ini pula sebagai nasihat kepada diriku yang dulu supaya tidak lagi seperti itu.
Seperti yang telah kukatakan, langkah utama untuk merasakan bahagia adalah kau mesti merasa nyaman lebih dulu dengan dirimu sendiri.
Sepasang kakimulah yang pada akhirnya paling bisa kau andalkan dalam berbagai kondisi. Sebab, sepasang kaki itulah yang mampu membawamu pada suatu perubahan. Tak menjadi masalah ada atau tidaknya seseorang di sisimu, karena kau memiliki dirimu sendiri.
Lihatlah dirimu di cermin, jangan pernah membenci dirimu sendiri. Kau seharusnya menjadikan dirimu sebagai sahabat baik, sebab ia yang menemanimu kemana-mana. Definisikan cantikmu. Jangan membiarkan orang lain mendefinisikan dirimu dan memberikan standar kecantikannya kepada dirimu.
Segala sesuatunya hanyalah perspektif belaka. Mungkin kau merasa hidup orang lain lebih baik darimu, mungkin kau ingin menjadi dirinya sebab kau merasa kehidupanmu tidak seru. Tetapi, kita tidak pernah tahu dengan persis apa-apa saja yang ada di dalam sana. Kita tiak akan pernah bisa menyelaminya sampai dasar.
Maka dari itu, merasa kenyanglah akan dirimu yang sekarang. Kau cukup. Kau utuh.
0 comment