Menulis untuk Bertahan Hidup
Suatu waktu di tengah-tengah kebingunganku tidak ada satu pun penerbit yang menerima naskahku, aku mencari daftar penerbit yang barangkali berpotensi menerbitkan naskahku. Kubaca daftar-daftar penerbit yang telah menolak naskahku.
Pandanganku tertuju pada satu nama. Entah, aku seperti mendapatkan getar yang menandakan bahwa penerbit itu yang akan menerbitkan naskahku. Tetapi, aku saat itu tak cukup yakin dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku tak pernah mendapatkan kilatan keyakinan pada kemampuanku menulis. Kupikir menulisku hanya sekadar hobi, dan tak layak untuk menjadi tulisan yang ciamik serta dibaca banyak orang.
Tahun 2021, aku tidak sengaja membaca sebuah tweet dari penerbit yang berisikan bahwa dicari seorang penulis yang akan menuliskan sebuah naskah motivasi dan psikologi. Lagi-lagi, aku ragu. Sebab, aku tidak memiliki naskah yang seperti itu. Hanya ada fosil-fosil curhatan dan keluhan teman-temanku yang entah mengapa memercayai cerita hidup dan perasaannya untuk dibagikan kepadaku.
Sejak dulu, sejak Sekolah Dasar, berlanjut ke SMP dan SMA, hingga kini aku selalu menjadi pendengar orang-orang terdekatku mengenai kesedihan, kesakitan, dan kesenangannya. Aku yang tidak banyak cerita secara lisan, lebih senang mendengarkan orang lain bercerita. Melihat matanya berkilat-kilat karena senang terhadap sesuatu, melihat matanya berkaca-kaca karena teringat kembali yang membuat hatinya tergores, seperti menjadi pengisi energi tersendiri bagiku. Interaksi-interaksi itu mampu memberikanku jendela dan kacamata baru. Melihat berbagai perspektif pada suatu masalah yang sama.
Berbekal dari itu semua, berbekal keluhan dan kekhawatiran orang-orang, aku memberanikan diri untuk menyusun outline yang belum begitu tergambar akan seperti apa naskah itu nanti. Karena, aku memang tidak memiliki naskah utuh, aku hanya mengandalkan topik-topik pembicaraan deeptalk antara aku dan teman-temanku, antara aku dan diriku sendiri.
Selain itu, beberapa waktu aku pernah mengadakan sesi curhat online di Instagram. Beberapa bertanya padaku, beberapa hanya menginginkan kata-kata yang hangat untuk meredakan cemasnya. Jujur, itu bagai dua kutub sekaligus bagiku, memberi dan menguras energi. Aku senang mendengarkan, tetapi terkadang aku pun butuh didengarkan ketika aku sedang merasa tidak baik-baik saja. Dari kekhawatiran mereka dan kekhawatiranku sendiri, aku perlahan menentukan apa yang akan aku tulis.
Surprisingly, outline-ku diterima. Kaget! Betul, aku benar-benar kaget. Aku tak menaruh banyak ekspektasi pada saat itu, karena aku tak memiliki naskah dengan genre yang sesuai. Aku pun tidak berpikir outline yang kubuat akan merebut hati redaktur. Tahu-tahunya, itu jalanku untuk menerbitkan buku. Jalan pertamaku.
Dan, itu adalah penerbit yang sama dengan nama penerbit yang memberiku getaran.
Aku benar-benar tidak boleh mengabaikan bisikan hatiku.
Awalnya, aku tidak percaya. Betul-betul di luar dugaanku. Setelah saling membalas surel, aku diminta untuk memberikan contoh tulisanku.
0 comment