Buku Ruang Tenang Karya Sky Cantiki, Lahir dari Kegelisahan
Menjalani hidup sebagai seorang dewasa baru rasanya ada saja kegelisahan yang muncul setiap saatnya. Kegelisahan yang bermula dari ketidaktahuan ataupun kebingungan harus melakukan apa selanjutnya. Dunia dipenuhi teka-teki. Tiap tragedi seperti kepingan puzzle yang melengkapi kehidupan. Keping-keping itu tidak pernah bisa kita prediksi seperti apa bentuknya, ditemukan di mana dan kapannya. Seketika saja kita akan merasa lengkap sesaat sesudah berhasil melewatinya.
Kita manusia berangkat dari ketidaktahuan, tetapi diharuskan mengetahui banyak hal.
Suatu waktu, aku yang gelisah, aku yang merasa tidak memiliki kemampuan yang mumpuni yang akan menyokongku untuk dekat dengan definisi "sukses" orang-orang, aku yang sedang tidak lagi berharap dapat menjadi seorang penulis karena seringnya mendapat penolakkan dari penerbit, melihat cuitan penerbit yang kuikuti sejak lama di Twitter. Cuitan itu berisi bahwa mereka sedang membutuhkan seorang penulis yang menulis naskah bergenre psikologi/motivasi. Aku membacanya dengan bingung dan ragu. Aku merenung sebentar, mungkin juga cukup lama karena keraguanku mulai merambat ke seluruh sel tubuh. Belum apa-apa, aku sudah meragukan diriku sendiri.
Aku berpikir, barangkali cuitan itu seperti karpet merah yang Tuhan berikan sebagai alas dari jalanku menuju tujuan, sebuah kesempatan yang tidak boleh kulewatkan. Tetapi (selalu saja ada tetapi yang membuatku menilik kepada kekurangan dalam diri), aku tidak memiliki naskah yang bergenre seperti itu. Selama ini aku hanya menulis novel yang selalu saja ditolak, aku juga menulis puisi-puisi kecil yang menggelitik, dan juga cerpen-cerpen surealisme yang hanya kubenamkan dalam laptopku. Aku menimbang-nimbang penuh keraguan namun juga rasa penasaran. Penasaran karena aku ingin mencobanya. Katanya, kalau tidak dicoba kita tidak tahu berhasil atau tidaknya, bukan?
Satu hal yang membuatku tidak begitu rendah diri adalah dalam cuitan itu menyebutkan bahwa boleh saja mengirim outline terlebih dahulu. Meskipun demikian, aku tetap masih bimbang. Aku ingin mengajukan diri namun tidak tahu apa yang akan aku tulis, aku tidak tahu topik apa yang ingin aku angkat. Yang kutahu, aku hanya ingin tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang atau barangkali kesempatan yang kutemui.
Berbekal kenekatan (ini yang selalu kuandalkan jika aku tidak memiliki cukup persiapan), aku memutuskan untuk maju terus: aku akan mengajukan diri. Jujur saja, aku belum terpikirkan sama sekali akan menulis apa. Tapi paling tidak, bergerak saja dululah sebelum waktu yang diberikan habis sia-sia karena digerogoti keraguan. Saat itu, aku memang sedang tidak aktif menulis. Kegiatan kuliah yang menguras pikiranku seperti menguras pula kemampuanku menulis. Mungkin aku sedang di fase writer's block and reading slump. Aku benar-benar merasa jauh dari dunia kepenulisan saat itu. Dan hadirnya cuitan itu bagai sebuah cambukan untuk aku kembali menulisnya.
Sepanjang waktu, aku selalu memikirkan apa yang akan aku tulis. Mencari-cari inspirasi ke sana kemari sambil melirik tanggal, mewanti-wanti keterlambatan dari tenggat waktu yang telah ditentukan. Kepalaku rasanya sudah tidak memiliki isi, kesemuanya telah kukeluarkan namun tidak juga mendapat satu topik yang akan kuangkat menjadi garis besar tulisanku.
Tiba-tiba, aku mengingat satu hal.
Pikiranku melangkah mundur ke tahun 2019. Saat itu, aku hidup sendirian di kota Jakarta sebagai seorang mahasiswa yang berasal dari Cikarang. Aku tinggal di sebuah kamar indekos kecil dengan kamar mandi dan dapur bersama. Aku tidak mengenal siapa-siapa dan tidak memiliki teman di sana. Meski Cikarang dan Jakarta tidak terbentang jarak yang jauh bak menyeberangi lautan, tetapi bagiku hidup sendiri tetap memiliki tantangannya sendiri.
Aku pergi ke Jakarta dengan membawa segudang trauma yang masih membekas dari apa yang terjadi ketika di Cikarang, terkhusus permasalahan dengan teman. Katanyam semakin dewasa lingkaran pertemanan akan semakin menyempit. Rupanya hal itu pun terjadi kepadaku. Satu per satu teman yang dulu menjadi sandaranku berbagi keluh, berjalan ke arah pintu keluar dari hidupku. Hal itu berdampak buruk kepadaku, membuatku menjadi takut untuk mengenal orang baru. Aku menjadi tidak mudah percaya kepada siapa-siapa. Meski jauh di dalam lubuk hatiku tiap kali melihat sekumpulan orang rasanya ingin menjadi bagian dari mereka, tetapi ada rasa di mana aku tidak berani untuk memulai apa-apa saat itu. Membuka pembicaraan pun aku enggan. Saat itu, aku merasa berada di sudut dunia di mana hanya ada aku saja. Tidak ada seorang pun yang menginginkan aku. Seperti aku tak layak untuk dicinta atau sekadar ada di dunia.
Di masa aku menutup diri dan tidak memercayai orang baru, aku memilih untuk mengekspresikan diri di media sosial, khususnya Instagram. Nyaris setiap hari aku membuat story dan rutin menulis puisi yang berasal dari dalam hati. Aku merasa tak ada yang bisa kuajak bicara mengenai kegelisahanku, tak ada yang bisa kubagi keluh, dan tak ada bahu untuk tempatku merebahkan lelah. Dari sesaknya isi kepala dan dada, aku memilih menumpahkan semuanya itu lewat kata-kata. Sebab hanya itu yang kubisa. Sebab menulis adalah caraku bertahan hidup sejak dulu. Dan di Instagram semuanya tertuang.
Setelah kulihat-lihat story orang lain, ternyata bukan aku saja yang sedang merasakan kesedihan, kebingungan, dan kegelisahan karena masa transisi dari remaja ke dewasa muda. Kuperhatikan orang-orang sama terlukanya, sama lelahnya. Perasaan lelah terhadap kehidupan yang banyak sekali hal mengejutkan. Permasalahan silih berganti. Hal yang tidak pernah kutahu sebelumnya ada di dunia ini, ternyata sungguhan terjadi. Begitu banyak yang membuatku menganga.
Kadang-kadang sebagian orang relate dengan tulisan-tulisanku itu. Beberapa dari mereka mencurahkan isi hatinya melalui DM Instagram. Mereka meminta saran atau sekadar hanya ingin didengarkan. Mereka bilang, caraku mendengarkan dan memberi saran membuatnya tenang. Hatiku bagai taman-taman surga yang dipenuhi bunga dan kupu-kupu. Aku senang sekali mengetahui bahwa aku mampu membuat orang lain merasa lebih baik karena kata-kataku.
Aku merasa berguna.
Tidak berhenti di situ, tiap minggunya aku berinisiatif mengadakan sesi tanya jawab yang kunamai "Ruang Tenang". Sesi itu aku lakukan di Instagram Story dengan memanfaatkan fitur ask question. Dalam sesi itu, aku menanyakan kabar teman-teman online dan apa yang tengah mereka rasakan. Cukup banyak yang merespons, memberi tahu apa yang berkecamuk di dada mereka. Mayoritas mengatakan bahwa mereka sedih, lelah, kecewa, dan tidak kuat menjalani kehidupan mereka. Pilu membacanya, terkadang seperti membaca diriku sendiri. Ingin kupeluk satu per satu mereka yang sedang terluka hatinya dan kosong jiwanya. Aku ingin mengatakan bahwa, kau tak sendirian yang merasakan hal demikian.
Kita semua terluka.
Kutanggapi keluh mereka sesuai dengan sudut pandangku, melihatnya dari kacamataku, dari pengalaman yang terjadi dalam hidupku. Aku tahu aku masih sangat muda untuk dapat dikatakan memberikan motivasi, pengalaman hidupku belum banyak seperti tetua lainnya, tetapi itulah caraku sebagai manusia yang memiliki perasaan dan mencoba untuk memanusiakan manusia lainnya. Aku hanya berusaha mendengarkan mereka dan menempatkan diriku di posisi mereka. Aku tidak ingin menghakimi siapa-siapa, sebab kita tidak pernah tahu cerita di balik kehidupan seseorang. Mungkin hal itulah yang membuat mereka nyaman untuk bercerita kepadaku. Kemampuan mendengarkan seperti itu sudah kumiliki sejak sekolah dasar. Barangkali itu sebabnya aku kerap dipercaya sebagai tempat curahan hati orang-orang.
Lampu di kepalaku seketika bersinar. Aku mulai tahu apa yang akan aku tulis, paling tidak aku tahu judul buku yang akan aku ajukan. Ya, benar, Ruang Tenang. Aku mulai mencatat apa-apa saja topik yang akan kuangkat. Kesedihan yang berlarut-larut, kekecewaan kepada orang lain
dan diri sendiri, kehilangan orang lain yang begitu disayangi dan kehilangan
diri sendiri, kegagalan dalam hidup hingga menyalahkan keadaan, trauma masa
kecil yang terus dibawa hingga dewasa, perasaan mati menjalani hidup, perasaan
ingin mengakhiri hidup, perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan yang
sulit diterjemahkan, insecurity, dibungkus menjadi satu kesatuan. Aku
menyusunnya menjadi outline yang masih sangat berantakan. Dengan perasaan yang
tidak berharap banyak akan diterima atau lolos karena kutahu aku terburu-buru
dan tidak memiliki cukup persiapan.
Kemudian tim redaksi umum memintaku
untuk menuliskan contoh tulisan seperti apa dari hasil outline yang kususun
itu. Aku kebingungan. Ya, lagi-lagi aku kebingungan. Aku tidak tahu harus
menulis apa. Aku tidak tahu harus berbagi kepada siapa berita yang membuatku
sangat bingung ini. Aku kelimpungan mencari-cari ide tulisan supaya bisa
menulis sesuai dengan outline. Aku si mudah panik, saat itu seperti hidup dalam
goa yang berisi beruang madu. Aku tidak ingin mati dan mati-matian bertahan
hidup dengan cara yang tidak kuketahui selain bernapas. Akhirnya, kuputuskan
untuk: mulai menulis saja dulu.
Aku merasa seperti manusia yang tidak
memiliki isi kepala. Berpikir keras namun tidak ada hasil dari apa yang aku
pikirkan. Tulisanku mulai kusulam ketika aku mengambil tangkapan layar
Instagram stories sesi ruang tenang itu. Aku mengambil satu permasalahan yang
kemudian kutuliskan. Dengan ragu, dengan tidak percaya diri, aku mengirimkan
contoh tulisan itu. Aku sampai tutup mata ketika mengirimkannya karena menurutku
tulisanku sangat berantakan dan aku merasa malu, tetapi aku ingin menuntaskan
apa yang telah aku mulai.
Surel yang masuk tanggal 24 Juni 2021
kembali membuat mulutku terbuka. Kali ini aku berkaca-kaca. Aku berjingkrak,
membuat variasi reaksi lain selain bingung. Bagaimana aku tidak berjingkrak,
aku senang bukan main ketika aku dinyatakan akan memiliki sebuah buku fisik
yang selama ini aku idam-idamkan.
Tidak pernah sebelumnya aku membaca
kata lolos dari penerbit. Biasanya, aku selalu membaca mohon maaf yang
membuatku gumoh hingga kini terbiasa. Aku sangat-sangat-sangat tidak menyangka
ini bisa terjadi kepadaku.
Setelah proses panjang mengenai buku
Ruang Tenang, kini izinkan aku memperkenalkan buku itu sendiri.
Ruang Tenang adalah buku yang lahir
dari kegelisahan. Dalam buku ini, aku tidak menempatkan diri sebagai guru atau
pelatih, aku lebih menempatkan diriku sebagai seorang teman yang berusaha
mendengarkan dengan saksama dan memeluk hangat temanku yang menangis di sudut
kamar. Sebab aku tahu betapa sesaknya dada ketika kita menangis di tengah malam
dan tembok kamar tidak mampu memberikan pelukan hangat serta kata-kata
penyemangat.
Aku tahu betapa terasa tidak adilnya
dunia ketika satu per satu yang kumau tidak juga berwujud, semuanya semu dan
lenyap. Aku tahu betapa pusingnya kepala memikirkan bagaimana
atu-dua-tiga-empat-lima tahun ke depan, memikirkan aku akan menjadi apa
nantinya, apakah menjadi orang yang gagal ataukah berhasil meraih kesuksesan.
Aku tahu betapa tidak bergairahnya menjalani kehidupan yang terasa membosankan,
begini-begini saja, tidak ada perkembangan. Aku tahu betapa sakitnya merasakan
kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku tidak ingin kau melewati kepahitanmu
sendirian, dan kutahu aku tidak bisa membentangkan tanganku yang hanya dua
untuk memeluk semua orang. Maka dari itu, kulahirkan sebuah buku berjudul Ruang
Tenang.
Sebuah buku yang kuharap dapat
menemanimu ketika tersedu-sedan tengah malam di sudut kamar dan memelukmu
dengan hangat.
0 comment