twitter facebook instagram pinterest linkedin

Sky Cantiki

Menulis untuk hidup



Masih kuingat dengan jelas kegalauanku pada masa akhir SMA, langkah yang mana yang akan aku ambil untuk kutempuh pada episode hidup selanjutnya. Aku bukanlah sosok yang mempersiapkan perkuliahan dengan baik, malahan tergolong sebagai siswa santai yang terlihat mengikut saja ke mana hidup akan membawaku. Meski begitu, aku tetap memikirkan bagian-bagian yang kuinginkan untuk disisipkan ke dalam hidupku.

Aku terbilang tidak mencari tahu banyak jurusan yang sesuai minatku. Hanya saja, ketika awal masuk SMA aku berpikir akan mengambil Sastra Inggris. Alasanya sederhana, karena aku suka mempelajari bahasa asing. Kemudian itu tak bertahan lama ketika akhirnya aku jatuh hati pada jurusan Psikologi. Masih dengan alasan yang sederhana, aku suka mendalami karakteristik orang lain. Dan aku berpikir, mungkin itu dipelajari di sana.

Beberapa ucapan teman memengaruhiku. Menyebut-nyebut prospek kerja, yang juga tidak aku pikirkan secara matang. Maksudku, akan bekerja di mana dan menjadi apa secara gamblang disusun dengan rapi seperti orang-orang. Aku tidak seperti itu. Yang kutahu saat itu aku ingin menjadi penulis yang memiliki banyak buku hanya karena aku selalu menumpahkan emosiku dalam bentuk tulisan. Itu saja. Tidak secara jelas aku pikirkan bekerja di mana, di perusahaan ini itu, di kota ini itu. Tidak.

Aku semakin dikelilingi kegalauan ketika teman-temanku berhamburan sibuk menyusun masa depannya. Sedangkan aku, tidak memiliki tujuan yang spesifik. Aku hanya memiliki tujuan yang umum. Itu semata aku tidak ingin mengecewakan diriku karena kerap ditolak beberapa penerbit. Semua semakin membingungkan.

Sebelum akhirnya berlabuh di sastra Indonesia, aku sempat di tengah-tengah jembatan goyang yang ujung kanan kirinya adalah sastra Indonesia dan ilmu komunikasi. Entah, ilmu komunikasi pun karena aku lagi-lagi terpengaruh oleh temanku dan kupikir itu jurusan yang "menjanjikan". Sebab kutahu aku takkan cocok berada di tengah-tengah jurusan yang membahas perpolitikan. Terlalu memusingkan dan menguras energi bagiku. Satu-satunya yang membuatku melirikkan mata hanyalah sastra Indonesia. Seperti ada getar tersendiri. Dan perasaan ingin menyelami.

Sebelumnya, aku memang tipe orang yang pemikir. Dari hal besar sampai hal kecil yang mungkin tidak penting aku pikirkan: overthink. Terkadang aku merasa itu baik, terkadang pula aku merasa itu buruk. Selama ini aku lebih merasa banyak dampak buruknya.

Pemikiran-pemikiran aku ini tidak pernah tersalurkan jadi sebuah teori, diskusi, atau bahkan sebuah kalimat. Pemikiran itu hanya menjadi pemikiran yang terus berputar di kepalaku. Aku memikirkan hal-hal itu seorang diri. Bertanya kenapa ke diriku yang juga tidak tahu jawabannya. Lama-lama aku geregetan karena merasa nggak punya seseorang yang bisa aku ajak diskusi mengenai apa yang gue pikirkan. Tengok ke kanan-kiri orang-orang di sekitar gue nggak punya ketertarikan yang sama. Sampai gue memutuskan untuk mencari tahu semuanya sendiri.

Hal yang paling bisa aku lakukan adalah membaca. Niatku dalam membaca adalah untuk menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di benak dan pemikiran-pemikiran yang tidak terpecahkan.


Lelucon kehidupan baru saja terjadi. Syukurnya, ini adalah hal yang menggembirakan. Biasanya, hidup selalu mengajak bercanda yang memunculkan kemuakan. Namun, kali ini tidak.
Sekitar 9 tahun lalu (wow, sudah lama sekali!), tepatnya 2013, aku dan keluargaku pindah rumah meskipun hanya berbeda kecamatan saja. Hal itu juga membuatku akhirnya memutuskan untuk pindah sekolah ke kecamatan yang sama dengan rumahku. Jarak tempuh yang jauh membuatku menyerah mempertahankan sekolah lamaku. Bangun lebih pagi dan sampai rumah lebih sore membuatku tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan tugas atau sekadar istirahat. Aku kelelahan.

Sebelum memutuskan pindah sekolah, hubunganku dengan seorang teman sekelas yang semula dekat tiba-tiba saja jadi merenggang. Saat itu, aku tidak tahu apa penyebabnya. Dia tiba-tiba menjauh. Aku yang dulu begitu cuek, tidak terlalu mengindahkan perubahan sikapnya kepadaku. Kami benar-benar tak saling bicara lagi. Sampai akhirnya aku pindah sekolah. Pindah tanpa ada kesan dan salam perpisahan.

Baru kutahu ia mengirimkan pesan padaku di Facebook setelah satu tahun kemudian aku membukanya di laptop. Saat itu aku sudah jarang memainkan Facebook, di HP-ku pun hanya ada aplikasi FB Lite di mana untuk melihat pesan masuk harus mengunduh aplikasi Messenger terlebih dahulu. HP-ku yang saat itu tidak terlalu bagus dan memorinya penuh, hanya bisa mengunduh FB Lite saja. Pesan yang ia kirimkan padaku isinya begini,

"Ki, lu marah ya sama gue?"

Aku terperangah saat membacanya. Kukira saat itu ia yang sengaja menjauhiku karena sesuatu yang tak ingin kutahu karena aku terlampau cuek. Rupanya ia mengira aku marah kepadanya dan tidak berani bertanya langsung kepadaku. Memang, ia tipikal orang yang halus dan mudah tersentuh perasaannya. Berbeda denganku saat itu yang tidak memikirkan perasaan orang. Sangat masa bodoh.
Pesan itu tidak kubalas karena aku merasa telat dan tidak pantas saja membalas pe


Aku penasaran, apa yang sedang Tuhan pikirkan ketika merencanakan pertemuan kita? Apakah seperti yang kau dan aku pikirkan? Atau seperti yang kau dan aku rasakan? Apakah memaknai kehadiranmu di hidupku sudah sesuai dengan keinginan Tuhan tentang hidupmu? Tentang hidupku? Aku hanya penasaran. Tapi, boleh saja jika rasa penasaranku ini mendapat kepuasan. Barangkali aku berhasil memaknai maksud dan tujuan pertemuan kita dengan baik. 

Ingatkah kau kali pertama kita bertemu? Kurasa kau yang lebih jago mengingatnya. Kau yang memiliki daya ingat lebih baik daripada aku di berbagai kejadian. Kau yang selalu mengingatkanku sesuatu yang kulupa mengenai kita. Lucu, kau tidak pernah marah sedikit pun ketika mengingatkannya. Hanya menyenggolku dengan kata-kata bahwa aku tak mengingatmu dengan baik. Tidak, bukan seperti itu. Aku sangat-sangat mengingatmu, mengingat dirimu sebagai seseorang yang teramat baik bagiku. Hanya saja, kau tahu, bukan, beberapa hal ingin sekali aku lenyapkan dari kepalaku. Tetapi, aku masih belum mampu, dan itu yang selalu mengambil alih perhatianku. Maafkan aku, ya. Aku akan mencoba mengingatmu lebih baik. Detail-detail kecil darimu.

Setelah lama mengenalmu, aku baru tahu apa makanan kesukaanmu. Bodohnya aku! Terlalu memfokuskan diri, memfokuskan kita pada sesuatu yang tidak perlu. Sesederhana makanan kesukaanmu saja, aku baru mengetahuinya akhir-akhir ini ketika aku berusaha menjadi seseorang yang mendengarkanmu dengan baik. Ya, mendengarkanmu. Sebab, aku terlampau lebih sering mendengarkan orang lain, dan tidak pernah mendengarkanmu dengan kepala dingin. Maafkan aku lagi, ya. Meski kutahu, tanpa kuminta kau akan memberikannya. Kau manusia yang tidak pernah kehabisan kantung maaf. Hebat! Aku belajar banyak darimu.

Bertemu denganmu adalah pelajaran paling berharga dalam hidupku. Pelajaran yang tidak pernah aku temukan dari mana pun dan siapa pun sebelumnya. Kau hadir saat itu seperti disengaja Tuhan untuk menamparku dalam balutan pelukan, memarahiku dalam lembutnya tuturmu. Kelamahlembutan yang berhasil menguatkanku. Kau membuka mataku, bahwa kita tak perlu menyentak-nyentak ketika kesal pada seseorang. Kau pun membuka mataku, bahwa ketenangan, keheningan, dan kelemahlembutan jauh lebih bisa menyalurkan amarah dengan arif.

Kali pertama bertemu denganmu, aku sudah melihat pancaran matamu yang bening dan seperti kubangan melambangkan ketulusan yang nyata. Kebaikan yang tak pamrih dan kasih yang begitu besar dan sabar. Kau memiliki jiwa seluas samudra yang bening dan dalam. 

Darimu aku mengenal cinta seperti apa yang rasanya hangat namun menyejukkan. Darimu aku merasa tidak terbuang dan selalu diinginkan. Darimu aku jadi tahu diri, lebih sering mengucapkan maaf dan terima kasih.

Aku terkadang berpikir, "Kok, bisa, ya, seseorang sepertimu ada di hidupku?". Seringnya, aku tidak percaya dengan keberadaanmu yang terasa sureal. Tetapi, kamu ada. Ada di hidupku.

Lucunya, kau selalu berkata aku baik meski aku tak merasa begitu. Dan beruntung bertemu denganku, padahal akulah yang beruntung mendapatkan banyak pelajaran darimu. Apakah yang kau pelajari dariku? Apakah yang membuatmu merasa beruntung bertemu denganku? Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kepercayaan diri yang tinggi. 

Jiwamu yang seluas samudra itu, kupercaya kau akan dapat diterima di mana saja. Di belahan dunia yang terlihat begitu kejamnya, kau dapat bertahan dengan baik. Tidak banyak orang yang dianugerahi kantung maaf yang terlihat tak pernah kehabisan itu. Kupercaya pula bahwa kau akan menemukan kehidupan yang kau idamkan, meski tak bersamaku. Kita hanya bisa beriringan saja, kemudian melanjutkan kehidupan kita masing-masing. Saling mendukung, berkabar, dan sesekali melayangkan keluhan. Sesulit apapun hidupmu, aku percaya kau mampu laluinya.

Jiwamu yang seluas samudra itu, kupercaya akan selalu mendatangkan kebaikan untukmu. Dikelilingi orang-orang baik dan perlindungan dari Tuhan.

Jiwamu yang seluas samudra itu, akan selalu kuselami. Jiwa itu yang membantuku belajar berenang. Dan aku ingin lebih piawai. Kuselami kedalaman itu, yang meski tenang namun penuh ketegasan. Ajek berdiri di prinsip hidup yang kau genggam.

Jiwamu yang seluas samudra itu, semoga selalu didekatkan dengan bahagia.


 Suatu waktu di tengah-tengah kebingunganku tidak ada satu pun penerbit yang menerima naskahku, aku mencari daftar penerbit yang barangkali berpotensi menerbitkan naskahku. Kubaca daftar-daftar penerbit yang telah menolak naskahku. 

Pandanganku tertuju pada satu nama. Entah, aku seperti mendapatkan getar yang menandakan bahwa penerbit itu yang akan menerbitkan naskahku. Tetapi, aku saat itu tak cukup yakin dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku tak pernah mendapatkan kilatan keyakinan pada kemampuanku menulis. Kupikir menulisku hanya sekadar hobi, dan tak layak untuk menjadi tulisan yang ciamik serta dibaca banyak orang.

Tahun 2021, aku tidak sengaja membaca sebuah tweet dari penerbit yang berisikan bahwa dicari seorang penulis yang akan menuliskan sebuah naskah motivasi dan psikologi. Lagi-lagi, aku ragu. Sebab, aku tidak memiliki naskah yang seperti itu. Hanya ada fosil-fosil curhatan dan keluhan teman-temanku yang entah mengapa memercayai cerita hidup dan perasaannya untuk dibagikan kepadaku.

Sejak dulu, sejak Sekolah Dasar, berlanjut ke SMP dan SMA, hingga kini aku selalu menjadi pendengar orang-orang terdekatku mengenai kesedihan, kesakitan, dan kesenangannya. Aku yang tidak banyak cerita secara lisan, lebih senang mendengarkan orang lain bercerita. Melihat matanya berkilat-kilat karena senang terhadap sesuatu, melihat matanya berkaca-kaca karena teringat kembali yang membuat hatinya tergores, seperti menjadi pengisi energi tersendiri bagiku. Interaksi-interaksi itu mampu memberikanku jendela dan kacamata baru. Melihat berbagai perspektif pada suatu masalah yang sama.

Berbekal dari itu semua, berbekal keluhan dan kekhawatiran orang-orang, aku memberanikan diri untuk menyusun outline yang belum begitu tergambar akan seperti apa naskah itu nanti. Karena, aku memang tidak memiliki naskah utuh, aku hanya mengandalkan topik-topik pembicaraan deeptalk antara aku dan teman-temanku, antara aku dan diriku sendiri.

Selain itu, beberapa waktu aku pernah mengadakan sesi curhat online di Instagram. Beberapa bertanya padaku, beberapa hanya menginginkan kata-kata yang hangat untuk meredakan cemasnya. Jujur, itu bagai dua kutub sekaligus bagiku, memberi dan menguras energi. Aku senang mendengarkan, tetapi terkadang aku pun butuh didengarkan ketika aku sedang merasa tidak baik-baik saja. Dari kekhawatiran mereka dan kekhawatiranku sendiri, aku perlahan menentukan apa yang akan aku tulis.

Surprisingly, outline-ku diterima. Kaget! Betul, aku benar-benar kaget. Aku tak menaruh banyak ekspektasi pada saat itu, karena aku tak memiliki naskah dengan genre yang sesuai. Aku pun tidak berpikir outline yang kubuat akan merebut hati redaktur. Tahu-tahunya, itu jalanku untuk menerbitkan buku. Jalan pertamaku.

Dan, itu adalah penerbit yang sama dengan nama penerbit yang memberiku getaran. 

Aku benar-benar tidak boleh mengabaikan bisikan hatiku.

Awalnya, aku tidak percaya. Betul-betul di luar dugaanku. Setelah saling membalas surel, aku diminta untuk memberikan contoh tulisanku. 


 Halo 2022...

aku belum sempat menyapamu dengan sengaja, menyambutmu pun tidak begitu penuh gairah. Sebab aku takut terlalu menaruh harapan tinggi padamu yang akan membuatku terjerembab ke dalam lubang kekecewaan. Lagi dan lagi. Kau tahu sendiri, bukan, mengatasi kekecewaan begitu berat dilakukan?

Maka dari itulah, aku tidak menaruh banyak ekspektasi pada tahun ini. Bukan berarti aku menjadi seseorang yang pesimistis. Bukan. Kau pun tahu seberapa idealisnya aku. Aku tetap memiliki harapan-harapan di tahun ini, tentang mimpi-mimpiku; masa depanku; diriku sendiri; dan orang-orang terkasih. Aku ingin yang terbaik, tentu saja. Siapa yang tidak menginginkan sesuatu yang terbaik terjadi pada diri dan kehidupannya? Aku pun satu di antara mereka. 

Hanya saja, aku lelah.

Aku lelah berlari kencang mengejar keinginanku dengan api yang menggebu-gebu kemudian kenyataan yang tidak sesuai ekspektasiku membakarku habis menjadi debu. Hancur.

 



Aku mencoba mengingat kembali apa-apa yang terjadi pada tahun lalu. Tahun 2021. Apa saja yang menyenangkan dan menghancurkan. Siapa saja yang datang dan hilang. Di mana saja kakiku berkunjung dan merasa pulang. Kapan saja aku merasa tenang dan terguncang. Bagaimana saja upayaku menenangkan diri dan melewati hari.

2021 kelam yang berwarna-warni, pun cerah yang hitam legam. Keduanya terjadi seperti imbang. Semakin meyakinkanku bahwa senang dan sedih, derita dan bahagia, saling berdampingan. Tidak ada yang benar-benar unggul salah satunya. Bahwa bumi ini berputar tidak hanya untuk satu manusia. Jatuh bangunnya pada setiap kehidupan manusia akan selalu ada. Kita semua merasakannya.

Awal tahun, tidak terlalu baik untuk diulang, namun baik untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Pelajaran paling penting bagiku saat itu adalah bagaimana cara mengelola emosi. Mengelola emosi bagai sebuah pelajaran yang tak berkesudah. Akan selalu ada masa yang mempertemukanku dengannya. Dengan sebuah emosi yang memuncak dan hendak meledak. Disitulah aku diminta untuk mengelolanya supaya emosiku tak mengeluarkan api yang membakar dikiriku dan orang lain. Sulit, sulit sekali. Tetapi, aku terus belajar untuk mengelolanya, dan bukan memendamnya.

Berada di suasana rumah yang baru, menjadi salah satu kebaikan tersendiri. Meski, kami masih tak bisa lari dari rantainya. Rantai yang ia lilit di leher kami. Itu pun menjadi satu yang aku sesalkan, sedihkan, dan terus bertanya mengapa dan kapan. Mengapa harus begini? Dan kapan akan berakhir? Yaaa... hal itu tak pernah mudah dilalui. Kami belum juga bertemu pada titik akhirnya. Penghujung dari semua kelelahan.

Newer Posts
Older Posts

Pemilik Ruang


Halo, selamat datang di Ruang Tenang! Senang mengetahuimu mengunjungi ruanganku, tempat aku melarikan diri dari kegaduhan dunia. Di sini kau akan bertemu sekat-sekat ruang dalam kepalaku yang begitu sesak menjadi untaian kata-kata.

Mari Berteman

Labels

Berdikari Jurnal Karya Teman Hidup

Blog Archive

  • ▼  2022 (9)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (1)
    • ▼  Januari (6)
      • Menjadi Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Membenamkan Kenangan Buruk
      • Jiwa Seluas Samudra
      • Menulis untuk Bertahan Hidup
      • Mengecilkan Ekspektasi
      • Kilas Balik
  • ►  2021 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)


FOLLOW ME @INSTAGRAM





Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates