twitter facebook instagram pinterest linkedin

Sky Cantiki

Menulis untuk hidup



Dulu sempat berpikir kalau Instagram itu toxic abis. Banyak sekali komen-komen jahat, memamerkan kekayaan dan apapun yang ada di sana. Sampai beberapa bulan buka Instagram hanya kalau ada notifikasi selebihnya tidak mengunggah foto apapun yang biasanya sering sekali. Tapi semakin ke sini sebenarnya kita sendiri yang memagari diri, bahkan untuk akun media sosial milik kita. Kita yang kendalikan itu semua dan tidak membiarkan satu orang pun turut campur tangan. Aku mulai berhenti mengikuti akun-akun yang sekiranya membawa dampak buruk untukku, baik dalam diri maupun di luar. Dari dalam, contohnya rasa iri, dengki, dan marah melihat orang-orang yang lebih sukses dariku. Dari luar, contohnya sampai akhirnya aku membuat perubahan diri dan diet habis-habisan untuk mencapai berat badan yang ideal, lagi-lagi karena terpengaruh dan menelan semuanya bulat-bulat.

Sampai fase di mana aku lebih bijak menggunakan media sosial, aku tidak lagi berkomentar manis di foto orang yang sebenarnya menurutku biasa saja. Tapi karena mereka sering -mengomentariku dengan puji-pujian, akhirnya aku balik mengomentari mereka. Jatuhnya seperti balas budi yang diharuskan. Aku mulai berhenti melakukan itu. Mencoba menyukai foto-foto atau hal-hal yang memang sekiranya menurutku bagus dan layak. Bagus dan layak itu hanya di mataku, mungkin di mata orang lain berbeda. Setelah sekiranya aku membersihkan akun media sosialku, kemudian aku mulai mengikuti akun-akun yang berkonten baik yang mengedukasi, seperti info-info pendidikan, kepribadian, mental health, sastra, dan hal-hal positif lainnya.

Semakin banyak aku membaca, semakin sadar aku akan banyaknya kekurangan dan ketoledoranku atas memperlakukan sesama manusia. Banyak sekali hal-hal yang aku sadari semenjak itu, semenjak memutuskan diriku masuk ke lingkaran yang lebih positif. Aku pun menyadari kesalahan-kesalahanku di masa lalu yang mungkin memperlakukan mereka tidak semestinya, tidak sesuai dan jauh dari kemanusiaan. Mulai dari situ aku berpikir, aku tidak mau menjadi aku yang dulu. Dan bagaimana, ya, caranya untuk aku bisa memperlakukan mereka dengan baik? Bukan hanya yang aku kenal, tapi semua manusia, siapapun mereka.

Aku diberkati dengan kemampuan yang sejak Sekolah Dasar ada. Orang-orang senang bercerita kepadaku. Mereka bilang aku pendengar yang baik. Mereka bilang aku bisa membuat mereka lebih tenang. Mereka bilang bercerita denganku begitu menyenangkan. Aku memang senang sekali mendengarkan cerita orang. Saat aku kecil Mama selalu bercerita apapun tentang kehidupannya, alih-alih menanggapi aku justru tertidur. Aku suka sekali mendengar cerita, hangat rasanya, seperti ada jiwa yang terikat. Intim. Begitu sepanjang masa sekolahku, aku selalu menjadi tempat cerita dan senang menjaganya agar tidak keluar dari mulutku kemudian kubeberkan. Tidak. Itu bukan aku. Yang aku adalah; memikirkan yang terjadi pada mereka kemudian kuanalisis kemudian kupetik pelajaran di dalamnya.

Masuk ke ranah dewasa, jiwa sepi rasanya semakin menguasai. Ini hanya aku atau mereka juga merasakan? Aku bertanya-tanya. Mungkin hanya aku, karena tidak memiliki pasangan. Mungkin mereka bahagia. Rupanya tidak. Beberapa teman dekatku bercerita, meski ia miliki pasangan sepi pun masih menyelusup ke relungnya. Aku bertanya pada diriku, bagaimana bisa? Apa yang menyebabkan itu semua?

Suatu waktu, aku iseng sekali. Tidak ada kegiatan, lalu kutanya mereka di Instagram. Kutawarkan mereka untuk bercerita. Satu-dua dan lama-lama semakin banyak. Aku terkejut kali pertama membaca cerita-cerita mereka. Pilu. Sakit rasanya. Ternyata banyak terluka. Ternyata bukan aku saja. Ternyata semua manusia memiliki sakitnya sendiri. Aku, remaja di awal dewasa terkejut menyadari betapa memang hidup senang sekali memainkan hati manusia. Diobrak-abrik. Aku, dengan sedikit pengalamanku, berusaha untuk memberikan sedikit penghangat dan solusi melalui kata-kata agar mereka tidak merasa sendiri. Agar mereka kuat menjalani. Agar mereka tahu aku ada kalau mereka butuh. Agar mereka tahu bahwa orang asing bisa sebegitu pedulinya.

Aku tidak rutin melakukannya. Karena aku juga manusia yang memiliki luka, masalah dan urusannya sendiri. Ketika kondisiku juga sedang tidak baik-baik saja, aku tidak berani untuk menenangkan mereka. Aku tidak berani untuk bertanya, bagaimana harimu? Karena tidak memiliki energi yang cukup untuk melakukan itu. Aku tidak ingin sekadar bertanya, setelah tahu kemudian aku hilang tidak menanggapi lagi karena aku tidak memiliki energi yang cukup dan enggan memaksakan diri. Itulah mengapa, tidak aku lakukan secara rutin dan terjadwalkan. Aku kerap hilang, menarik diri dari khalayak, tidak tampil di mana-mana ketika aku sedang bersedih, ketika hatiku berkabung. Aku tidak mau energi burukku mereka serap dan pindah ke dalam diri mereka. Aku tidak lagi mau menjadi orang marah dengan kata-kata yang kasar. Aku tidak lagi mau menjadi orang yang sedang lelah kemudian mengeluh dengan kata-kata yang memengaruhi. Aku tidak lagi mau menjadi orang yang ketika bersedih kemudian menyalah-nyalahkan hal yang membuatku sedih.

Aku memilih begitu demi tidak ada energi negatif yang diserap orang lain dariku. Aku akan mengeluarkannya tanpa harus diserap oleh siapa-siapa. Setelah jauh merasa lebih baik, aku akan hadir kembali untuk mereka yang mungkin masih patah hatinya, mungkin masih sedih, mungkin masih tidak tahu harus kemana dan cerita pada siapa. Aku ada. Aku datang dengan menanyakan mereka, apa yang begitu menyakitkan yang sedang mereka rasakan. Aku akan memeluknya melalui kata-kata. Karena aku sadar, hanya itu yang aku bisa. Sekiranya aku ingin tulisanku hangat di jiwa mereka, menjadi pembangkit semangat dan yang paling penting mereka tidak merasa sendirian.

Aku senang bisa sedikit membantu mereka. Tidak jarang aku terenyuh ketika beberapa dari mereka berkata terima kasih dan sudah jauh lebih baik. Aku tidak tahu mengapa ternyata kalimat-kalimat yang aku tulis sebegitu mereka serap dan berdampak. Itulah mengapa aku tidak mau menuliskan energi negatifku.

Semoga jiwa-jiwa yang terluka, hati-hati yang patah akan segera pulih dan menemukan obatnya.
Semoga mereka akan selalu baik-baik saja.
Semoga ada waktu di mana mereka menyadari bahwa luka mengajarkan untuk menjadi lebih dewasa.
Semoga aku akan selalu ada untuk mereka.
Semoga kita semua selalu dalam kebaikan.


12 Mei 2019

Sembilan tahun yang lalu, tepatnya saat aku duduk di kursi kelas 5 Sekolah Dasar. Ada seorang anak baru pindahan dari Bandung, rambutnya pendek sebahu jatuh lurus dan selalu bergerak-gerak ketika ia berlari. Ia senang sekali berlari. Ia lebih tinggi dariku, lebih kurus juga. Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana bisa mengenalnya, tapi yang jelas aku tahu namanya setelah ia memperkenalkan diri di depan kelas. Widya, atau yang kupanggil Didy. Hanya aku yang memanggilnya begitu, yang lain tidak boleh! Ingat, ya?!

Sejak saat itu aku sudah mengincarnya, menjadikan ia target dan dalam hatiku berkata, “Manusia ini akan menjadi temanku.”. Entahlah, aku selalu begitu ketika melihat seseorang yang atraktif. Kemudian akhirnya kami berkawan. Tidak jelas bagaimana awalnya, yang pasti ia masuk ke dalam gengku yang aku ketuai. Rasanya ingin memaki diriku sendiri mengapa dulu terlalu bossy dan bertindak bahwa berkuasa itu perlu dan menyenangkan. Maafkan aku yang di usia Sekolah Dasar sudah sebegitunya.

Suatu ketika gengku runtuh, pecah-belah dan saling membentuk kubu baru. Roda seolah berputar, aku yang tadinya paling berkuasa menjadi yang paling tidak bisa apa-apa. Aku tersisihkan, tidak ada satu pun yang bisa kugenggam, termasuk Didy. Dia sangat membenciku kala itu. Sindiran-sindiran selalu terlontar. Dia dengan kubunya mengintimidasiku. Buku curhatanku yang saat itu kuletakkan di laci mejaku hilang, dugaanku diambil oleh mereka. Dan benar saja. Kudapati buku itu setelahnya sudah dicoret-coret dengan kalimat mengejek. Aku sedih, takut dan entah rasanya hancur. Aku tidak memiliki siapapun. Di saat yang bersamaan, kondisi keluargaku sedang sangat tidak membaik. Aku semakin tak keruan. Anak kelas 5 SD yang malang dan tidak punya rumah untuk berpulang. Buku curhatannya bahkan sudah dipenuhi kalimat-kalimat memuakkan.

Tapi, itu hanyalah cerita Sekolah Dasar.

Mengapa aku bisa memaafkan? Mengapa itu kini menjadi sebuah pembelajaran dan perjalanan yang patut ditertawakan?

Karena Didy bersamaku hingga kini.

Aku dan dia disatukan oleh guru karena ketahuan bermusuhan. Sejak itu kami dipaksa untuk bermaafan, duduk bersama di barisan paling depan. Lambat laun kami saling membutuhkan dan mengisi satu sama lain.

Setelah lulus SD, kami tetap berteman justru semakin dekat. Bahkan hanya dia teman Sekolah Dasarku yang hingga kini masih ada, berkomunikasi dan menjalin persahabatan denganku. Mereka yang dulu dekat denganku, kini justru seperti orang tidak kenal, tidak acuh dan seperti tidak pernah terlibat dalam kesehariannya.

Meski aku dan dia tidak satu sekolah saat SMP, tapi kami tetap menyempatkan waktu untuk bertemu, walaupun tidak setiap saat. Terlebih saat keluargaku memutuskan untuk pindah rumah dan berdampak pada sekolahku, membuat jarak rumah serta sekolahku semakin jauh dari jangkauannya. Tapi, itu bukanlah penghalang besar karena kami masih di kota yang sama. Sepulang sekolah atau di akhir pekan kami memutuskan bertemu. Di KFC dengan uang receh hasil kami menyisihkan uang. Berjam-jam duduk dengan menu yang sudah habis atau sesekali menyeruput es batu yang sudah mencair. Uangnya kami sisakan untuk membayar parkir yang semakin mahal tiap jamnya. Itu tidak terlalu kami pentingkan, cerita dan canda tawa adalah nomor satu. Juga sebagai lem paling rekat di antara kami.
Masa SMP di KFC dengan uang recehan

Setelah kejadian di Sekolah Dasar, aku dan dia tidak pernah lagi terlibat perselisihan. Entah mengapa, rasanya kami semakin lama semakin mengerti satu sama lain. Semakin mengisi dan semakin membutuhkan. Hubungan kami semakin erat. Aku yang moody dengan mudah bisa ia kendalikan.

Saat SMA pun kami tetap berbeda sekolah, tapi itu sudah menjadi hal biasa yang tidak menimbulkan keterkejutan apa-apa atau ketakutan tidak akan bertemu lagi atau menjadi sulit bertemu. Lagi-lagi itu bukan penghalang, kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu. Kami masih baik-baik saja dan tidak ada permasalahan apa-apa. Justru kami semakin dekat. Semakin saling menguatkan.

Masa SMA di McD masih tetap recehan


Sampai detik ini aku kuliah dan ia bekerja, kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu di sela-sela kesibukan kami masing-masing. bahkan segalanya tidak ada yang terasa berubah. Aku tetap bisa menghubunginya, ia tetap bisa menghubungiku. Kami tetap menjalin komunikasi yang baik. Sesekali curhat mengenai masalah, kami masih saling memberikan solusi dan uluran tangan.

24 Agustus 2018



Aku dan Didy memutuskan untuk bertemu.

Kau tahu? Meski aku tidak menceritakan apa-apa kepadanya tentang kepiluanku atau bercerita namun tak sampai detail, tapi aku sudah merasakan kelegaan hanya dengan berbincang padanya. Energinya merambat masuk dalam tubuhku, seperti gawai yang sedang dilakukan pengisian. Bateraiku ful. Seperti seluruh energiku yang disedot habis-habisan oleh mereka yang membutuhkan, dengan waktu singkat dapat ia kembalikan. Melalui pelukannya yang tidak pernah aku pinta, melalui senyum darinya yang menyimakku saat aku bercerita, semuanya membuatku baik-baik saja. Membuatku percaya bahwa tidak akan ada yang meninggalkanku.

Kuberi ia puisi kecil berjudul Cermin. Serupa dengan julukan yang kuberikan untuknya. Kalau dikatakan cermin adalah teman terbaik yang tidak pernah tertawa ketika aku bersedih, begitulah ia. Itulah mengapa julukan cermin kuberikan kepadanya. Sangat sesuai. Selain itu juga karena aku miliki cukup banyak kesamaan dengannya yang membuat kami terkoneksi saat berkomunikasi. Kutulis puisi itu di depannya karena aku ingin ia tahu bagaimana prosesnya, meski puisi itu sudah lama jadi. Puisi kecil yang tidak ada apa-apanya itu, kulambangkan sebagai piagam penghargaan untuknya karena telah berpengaruh besar untuk hidupku.
Beginilah puisi kecil itu;

Cermin

Cermin bisa meringankan
Beban yang bercokol di tenggorokan
Pertemuan
Percakapan
Melihatnya
Mendengarnya
Terbuka pintu jalan keluar
Serta uluran tangan




Aku selalu menulis dengan tulus, melahirkan kata-kata dari kalbu. Tidak ada yang kulebihkan tidak ada yang kukurangkan, begitulah adanya. Bertemu dah bicara padanya seperti membuka pintu untukku dari segala permasalahan dan di sanalah terletak uluran tangannya. Membantuku, menyelamatkanku.membuka pintu untukku dari segala permasalahan dan di sanalah terletak uluran tangannya. Membantuku, menyelamatkanku.




Sekitar SMP kelas 3 gua ikut tes IQ sekaligus tes kepribadian di sekolah. Selang beberapa minggu hasilnya baru keluar. Kemudian dinyatakan kalau IQ gua masuk kategori superior dan kepribadian gua INTP. Tapi gua nggak ada cikal bakal Einstein karena goblo hitung-hitungan, tapi entah kenapa SMA gua nyasar ke IPA.

Gua nggak tau kapan kepribadian INTP itu muncul, entah dari kecil entah berubah di tengah jalan karena dulu gua belum terlalu paham tentang kepribadian. Lebih tepatnya sih karena gua bodo amat pada saat itu. Iya, bodo amat. Itu yang melekat kuat di darah dan daging gua sebagai seorang INTP.

INTP atau Introversion, Intuition, Thinking, Perception. Sering disebut sebagai ahli logika. Segitu ahli logikanya sampai gua merasa gua nggak berperasaan pada waktu itu. Gimana enggak? Gua sama sekali nggak pernah menganggap manusia itu penting atau gua nggak percaya manusia itu makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri. Gua yang pada saat itu amat sangat mandiri yang kebablasan, segala sesuatu halnya selalu gua lakukan sendiri. Itu cukup sebagai bukti manusia bukan makhluk sosial. Sampai gua benci banget sama yang namanya kerja kelompok. Dari situ setiap ada tugas kelompok gua yang selalu ambil alih karena gua nggak percaya sama kinerja orang lain yang menurut gua nggak memuaskan.

Selama gua SMP, gua nggak pernah mau berbaur dengan orang lain. Menyapa, senyum, ngajak ngobrol duluan adalah hal yang haram bagi gua. Buat apa? Gua nggak butuh mereka. Itu yang selalu gua pikirkan. Sumpa, kalau ada orang kayak gitu di hidup gua juga gua bencinya bukan main. I hate my old self. Gila. Segitunya gua. Sombong. Gua selalu berpikir, gimana ya orang lain melihat gua waktu itu?

Gua orangnya juga sangat nggak bisa dipaksa untuk mengikuti kemauan orang lain. Atau nanti gua bakalan tiba-tiba pergi menjauh dari hidup orang itu dan bahkan lihat mukanya aja nggak mau. Selama SMP gua nggak ikut satupun organisasi di sekolah, balik lagi gua selalu bertanya "Buat apa?" yang menurut gua itu cuma bikin gua capek, buang-buang waktu, nggak bebas dan terikat pada satu hal yang mengatur. Apalagi gua benci dengan sesuatu hal yang berbau senioritas.

Gua nggak ngerti kenapa dulu hati gua kayak batu, nggak ada getarannya akan suatu hal. Hari lebaran gua biasa-biasa aja, setiap gua buat salah gua nggak mau minta maaf duluan, ada orang nangis selalu gua bilang lebay. Ngapain sih nangis untuk sesuatu hal? Nggak perlu. Bahkan gua nggak bisa inget kapan selama menjadi INTP gua nangis. Setiap ada rasa emosi gua lampiasinnya dengan marah-marah, diem, dan menyendiri. Tapi gua nggak bisa nangis. Gua nggak pernah sudi untuk menangisi apapun.

Bahkan sekalipun gua nggak punya teman mungkin gua bisa survive sendirian, berkat rasa kebodoamatan gua itu. Gua selalu nggak peduli gua punya teman atau nggak, gua bisa ngobrol sama orang atau nggak. Lagi pula isi kepala gua udah cukup berisik karena gua selalu berpikir tentang apapun, kalaupun gua sendiri masih ada pikiran gua yang bisa gua ajak ngobrol.

So, gua nggak butuh siapapun.

Gua bisa sendiri.

Ditambah dengan manusia di sekitar gua yang can't relate. Gua nggak menemukan kecocokan-kecocokan. Intinya, gua benci manusia yang nggak secocokan. Mungkin 1:1000 yang bisa cocok sama gua. Kalaupun berdiskusi gua nggak mau melibatkan banyak orang, dan gua prefer empat mata. Semua introvert pasti merasakan hal yang lelah kalau terlalu lama duduk di kerumunan orang, apalagi kalau kerumunan itu banyak yang nggak cocok. Gua selalu mementingkan 1 orang yang penting cocok, ketimbang 10 orang tapi sama sekali nggak cocok. Lebih baik gua sendiri.
Itulah sebab-sebabnya gua nggak punya teman.

Bisa dibilang gua manusia kayu: kaku parah. Kalau lagi bareng teman gua, terus tiba-tiba teman gua didatengin temannya yang lain, gua seketika diam, nggak ngomong maupun senyum. Gua berpikir, itu bukan teman gua, gua nggak perlu ngajak ngomong dan ngapain juga. Setiap gua lewat depan orang kayaknya gua nggak pernah bilang permisi, selonong aja. Kerjaannya jarang banget salim sama guru, kalau ketemu guru gua muter balik. Gua menghindari hal-hal yang bisa bikin gua ketemu sama orang lain yang memaksa gua untuk menyapa.


Masuk SMA, mungkin di sini perubahannya. Gua mulai berpikir gua nggak mungkin jadi diri gua yang dulu terus. Di samping gua INTP kayaknya gua tetap butuh orang untuk diajak berteman. Even tho awal masuk gua masih cool-cool ala INTP nggak mau ngajak orang kenalan duluan, nggak mau ngajak ngomong duluan. Tapi akhirnya gua punya teman, cukup banyak.

Ini bukan geng, tapi kalau main langsung besar-besaran. Nyaris setiap hari ngumpul sampai Magrib dan nonton sesering mungkin. Gua merasakan euforia yang belum pernah gua rasakan, yaitu punya banyak teman. Asyik.

Tapi semakin lama, gua semakin capek.

Iya, gua capek. Gua act like extrovert selama 1,5 tahun kurang lebih. Setiap gua sampai rumah setelah perkumpulan yang terlalu sering itu, bikin gua capek, ngantuk, uring-uringan. Baterai gua habis total. Gua melupakan jati diri gua sebagai introvert yang nggak bisa diforsir sedemikian untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang. Sementara gua melebihi batas. Gua ketawa-ketawa, gua nyanyi-nyanyi, gua ngebanyol everything, do something stupid, itu kayak bukan gua.

Akhirnya, gua ngedrop parah. Baterai gue korsleting.

Gimana enggak? Introvert memaksakan dirinya menjadi seorang extrovert yang menurut gua tolol, sangat-sangat tidak peduli dan mencintai dirinya sendiri semata untuk kebahagiaan orang lain. Di situ gua tiba-tiba hobi menyendiri (lagi). Gua selalu mencari cozy corner, yaitu di depan kelas 11 gua dulu. Rasanya adem, relaks, nggak ada tekanan apa-apa sambil gua nyender ke tembok. Rasanya setiap kali di situ sambil lihatin orang yang lewat gua lagi body charging. Gua lagi isi baterai gua yang baru diganti. Gua tiba-tiba jadi nggak banyak omong, gua lebih sering mengamati, tapi rasanya nggak sebodo amat dulu, rasanya ada yang berbeda dari gua SMP.

Dan gua iseng-iseng tes kepribadian online, tentu mengisinya sesuai kondisi gua pada saat itu. Kemudian hasilnya keluar. Gua kaget setelah lihat hasilnya itu INFP. Lho, kok bisa? Bukannya gua INTP? Terus gua browsing apa kepribadian seseorang bisa berubah atau nggak, dan rupanya memang bisa karena faktor-faktor tertentu.

Gua merasakan banget perubahan yang signifikan, terutama pada kondisi emosional gua. Gua yang dulu sama sekali nggak sensitif atau biasa aja akan sesuatu, jarang nangis dan lain sebagainya, terus gua heran kok tiba-tiba gua bisa nangis karena suatu hal yang sepele, yang menyenggol ketenangan gua. Dari situ gua mulai menelaah perubahan-perubahan yang terjadi pada hidup gua dari gua tau kalau gua ini INTP kemudian INFP. Gua jajarin keduanya, gua jadiin bahan perbandingan. Dan super beda. Gua ternyata kurang open dengan diri sendiri sampai perubahan itu aja nggak gua sadari.

Semakin hari gua merasa semakin lebay, semakin lembek, tapi tetap dibungkus dengan cool ala INTP dicampur muka gua memang nggak nyelo. Jadi, gua akan selalu terlihat baik-baik saja, nggak ada rona-rona kesedihan yang terpancar. Tapi batiniah gua kayak merasa selalu iba akan hal di sekitar gua. Gua jadi lebih peduli akan hal-hal kecil yang dulu gua bodo amatin.

Mulai dari omongan orang yang tiba-tiba gua ambil hati. Nangis.

Ditinggalin teman-teman entah karena apa secara tiba-tiba. Nangis lagi.

Ada konflik yang bikin gua kesel banget. Nangis lagi dan lagi.

Yang padahal dulu gua anti banget nangis, gua selalu marah atau diam.

Rasanya gua nggak bisa melihat orang lain sedih, gua nggak sanggup. Gua selalu mau merangkul siapapun yang memiliki luka, walaupun gua sendiri terluka. Gua nggak tega melihat isi dunia ini saling sakit-menyakiti. Rasanya mau marah, dan definisi marah yang gua tulis ini sekarang menjadi tangis. Setiap apapun yang mengganggu perasaan gua, gua cuma bisa nangis. Gua nggak ngerti kenapa bisa semelankolis itu. Ditambah gua pencinta sastra dan hobi menulis, suka baca juga. Semakin banyak yang gua baca, semakin tinggi sensitifitas gua. Gua semakin sering nangis hanya karena baca sesuatu hal yang menyayat. Atau bahkan gua bisa nangis karena imajinasi gua sendiri yang padahal itu nggak nyata. Sumpa, jauh dari logis.

Sampai sekarang gua kuliah, gua masih INFP. Tapi entah, kadang gua merasa capek. Sangat-sangat capek menjadi INFP. Akhir-akhir ini gua semakin parah dalam tingkat memikirkan orang lain daripada diri sendiri. Dan gua selalu merasa diri gua itu susah untuk dimengerti. Apa-apa yang gua lakukan selalu disalahartikan oleh orang-orang. Perilaku gua begini dianggapnya begitu, jadi gua selalu harus menjelaskan maksud gua dengan detail. Padahal, sebenarnya hal itu nggak perlu. Bagi gua, kalau orang itu serius mau mengerti, dia akan berjuang dengan sungguh-sungguh gimana si INFP ini.

Mudah bagi gua sebagai seorang INFP untuk membaca karakter orang yang lainnya. Tapi sulit untuk orang lain mengerti INFP yang rumit ini. Sometimes bangga jadi INFP, sometimes sedih juga karena "KOK SUSAH SIH PUNYA ORANG YANG BISA NGERTI?" (tanpa harus selalu gua jelaskan ini itunya)
Sampai akhirnya ruang lingkup gua semakin kecil, semakin banyak yang memilih pergi dari hidup gua. Apalagi kalau nggak nangis? Apalagi kalau nggak menyalahkan diri sendiri? Apalagi kalau bukan selalu mengingat-ingat kebaikannya? INFP itu "always looking for the hint of good in even the worse of people and events" ketimbang menyalahkan mereka, gua malah jadi mikir setiap potongan-potongan kecil kebaikan mereka di hidup gua. Apapun itu. Yang bikin gua sulit membenci sesuatu. Nggak kayak gua waktu INTP, mudah banget rasanya untuk membenci suatu hal, kalau sekarang ini enggak. Gua nggak bisa membenci apapun dan siapapun, terlepas dari tindakannya buruk atau nggak karena gua selalu percaya masih ada hal baik di samping itu.

Nggak sedikit yang bilang kalau gua ini jutek, dingin, cuek, aneh, ya gitu-gitu deh. Tapi yaudah mau gimana, kedukung juga sama muka gua yang nggak nyelo. Sebenarnya gua ini nggak pernah kesulitan berada di suatu tempat yang baru, makanya gua nggak takut kemana-mana sendiri, nyasar berkali-kali sendiri. Cuma aja nggak mudah untuk menemukan orang yang cocok, dan nggak mudah untuk dekat sama gua. Balik lagi; susah dimengerti/ditebak.

But, kalau kalian lihat gua sama orang yang uda "klop" banget, gua bakalan berbeda 180 derajat mungkin. Gua bisa bercanda kok, gua humoris kok, gua juga childish kok di balik sifat kedewasaan gua dan kata-kata bijak gua yang seliweran muncul di kepala. INFP: 50% mature and 50% childish. Heuu


Gua mau bahas sedikit tentang rasa dan logika

Sebagai mantan INTP di mana dominan menggunakan thinking/logika dan sekarang gua INFP di mana dominan menggunakan feeling/perasaan
menurut gua pribadi kedua itu harusnya balance/seimbang, nggak boleh berat sebelah, atau lebih baik kalau digunakan di waktu yang tepat. Karena kalau salah satunya menonjol bisa fatal. (seperti apa yang terjadi dengan gua)

Rasa yang unggul: buat kita terlihat bodoh
Logika yang unggul: buat kita terlihat tak acuh

Gua nggak setuju dengan ungkapan "cowok lebih logis, cewek lebih perasa" itu semua tergantung karakter dia sendiri.
Gua sebagai seorang perempuan, pernah selogis itu dan seperasa itu, sampai di titik sadar berat sebelah bikin nggak baik impactnya ke diri gua dan orang lain.

Jadi, mau cowok mau cewek mereka diharapkan imbang kedua aspek itu. Yaaaa walaupun nggak mudah, because I know that feel so well




Bicara mengenai teman pasti memiliki banyak ragam. Mulai dari agama, ras, budaya dan lain sebagainya. Tapi gimana, nih, mengatasi perbedaan yang ada? Menyesuaikankah atau malah terkesan lebih memaksakan diri?

Aku pribadi pernah jadi orang yang tidak menggunakan hijab dan bisa dibilang pakai baju yang sedikit terbuka. Dan aku ada di sekeliling orang-orang yang lumayan banyak menggunakan hijab, juga ada yang tidak berhijab tapi lebih sopan pakaiannya dibandingkan dengan apa yang aku pakai mungkin. Aku tidak pernah merasa itu mengganggu mereka karena gaya berpakaian setiap orang pasti berbeda dan memiliki seleranya masing-masing. Aku ini terbilang orang yang memiliki toleransi tinggi. Selagi itu tidak merugikan pihak manapun, aku tidak akan mempermasalahkannya.

Tapi rupanya gaya berpakaianku cukup mengganggu untuk mereka, atau gayaku yang lebih menonjol dari mereka itu membuat orang-orang mempergunjingkanku. Aku lagi-lagi bukan orang yang peduli akan hal itu. Jadi aku bersikap biasa saja. Dan suatu ketika salah satu temanku berbicara kalau dia agaknya malu bersanding denganku kalau kemana-mana. Dia yang menggunakan hijab sedangkan aku yang berpakaian lebih terbuka. Aku cukup terkejut mendengarnya. Bukankah seharusnya aku yang merasa malu?

Aku terus memikirkan hal itu.

Sampai ada temanku yang lain mencoba memintaku untuk menggunakan hijab saat berkumpul dengan mereka. Aku mengiakannya. Lagipula itu bukan hal buruk. Semakin lama semakin aku terapkan, tapi aku semakin tidak nyaman dengannya yang kok "terkesan memaksakan" ya? Kalau memang mereka mau aku berhijab, mungkin ada baiknya bilang dan menyadarkan aku melalui cara yang lain. Sampai aku merasa bertemu dengan mereka adalah hal yang tidak membuatku nyaman.

Singkat cerita, kini aku berhijab.

Seperti apa yang sudah aku bilang kalau keputusanku itu membuat banyak orang tercengang.

Aku memiliki seorang teman yang tidak berhijab, tapi pakaiannya lebih sopan daripada aku. Kami bertemu dan seketika ia berhijab tanpa bilang kepadaku.
Kutanya ia apa maksudnya memakai hijab, memang keinginannya atau hanya untuk menyesuaikan dirinya denganku?
Sungguh aku sedikit marah kala itu.
Aku merasakan rasanya tidak enak diperintah melakukan apa yang tidak aku ingini dan itu benar-benar tidak nyaman, jadi aku tidak mau menyuruh siapapun untuk ikut berhijab saat bertemu denganku. Itu bagiku sebagai bentuk pemaksaan hanya untuk terlihat serupa. Itu bagiku sebagai tanda kalau aku malu memiliki mereka dan menuntutnya banyak.

Aku tidak bisa seperti itu.

Kubilang kepadanya tidak perlu menyesuaikan dirinya denganku yang justru terkesan memaksakan. Soal hijab adalah panggilan hati meski kutahu itu adalah kewajiban. Aku benar-benar tidak bisa memaksakan kehendak mereka hanya demi enak dipandang, lebih sopan dan tidak dibicarakan. Toleransiku setinggi itu.

Aku merasa tidak perlu ada upaya khusus dalam berteman secara penampilan atau apapun selain perasaan. Bagiku itu hanya membuat rasa nyaman menjadi berkurang, membuat orang lain tidak menjadi dirinya sendiri. Aku percaya kebaikan akan menular. Sedikit demi sedikit saja dulu, tidak usah memaksakan. Aku pun berhijab karena kesadaranku sendiri melihat kebaikan teman-temanku. Aku pribadi tidak menyukai pemaksaan dalam bentuk apapun.

Aku harap tidak perlu sebegitu mengubah penampilanmu demi terlihat serupa. Tidak mengapa kalau berbeda.




Aku terlalu banyak risau pada sesuatu yang parau.
Memberitahu tanpa mengetahui ternyata salah satu hal yang tidak merisaukan. Atau juga melenyap sesaat dengan bait-bait yang masih diingat. Aku sudah berkeinginan hilang, tapi dengan syarat tetap dikenang. Seperti keterusikan hanyalah gerbang fana yang nyata, tapi sesungguhnya bisa saja diberi jeda.

Cukup terperangah meski siuman dengan jangka, bait-bait dari mulutku bernyawa di hidup segala. Satu persatu terlihat semu. Aku bahkan tak tahu siapa mereka, siapa aku. Tahu tidak, kalau aura yang mengaliri akan bermuara di hati? Prosesnya sama. Apa yang disampaikan dengan hati dan mengandung kasih, sungguh mampu membuat takjub. Lagi aku tak pernah mengira. Sungguh tidak. Aku tidak pernah berandai-andai menyulap sekerumun kataku menjadi anak panah, menancap lurus di dada mereka sampai ke kalbu. 


Dan,
kini jeda mengetukku...

Katanya, hendak berkunjung. Sungguh tahu diri ia datang di tepat waktu.

Aku.. aku dibuai keadaan, senang atas ketidakdugaan, dan marah atas ketidakterkendalian.
Rupanya lelah adalah aku yang sekarang.
Meski aku tahu akan didengar, tapi aku enggan bicara apapun. Aku sungguh enggan menjelaskan kepada mereka apa-apa yang aku lihat yang tidak mereka lihat. Aku sungguh lelah menjelaskan mengenai itu, tapi aku juga lelah melihatnya semena-mena. Membenarkan satu sisi saja yang memiliki banyak makna.

Kacamata mereka belum tebal, belum melihat jelas apa yang tersembunyi di balik seluk beluknya semesta.


Jeda katanya hendak membantuku padahal aku tidak meminta begitu. Dan katanya, kau akan terbantu, aku tahu kau butuh uluran tangan yang sejak lama tidak siapapun berikan.

Aku benar-benar butuh jeda..
dan ia menghampiriku segera

Teriak dalam hati mana enak, sudah tidak terdengar semakin muak pula. Tidak menyelesaikan apa-apa. Berbicara pada mereka pun untuk apa? Untuk apa? Untuk apa? Untuk membuatnya mengerti beberapa alinea yang seharusnya mereka baca?

Tulisan itu tak pernah menghampiri tuannya dan mereka lupa itu

menganggapnya seperti kopi yang akan selalu disuguhi dalam keadaan segala


Biar aku bertemu jeda,
ia siap kembalikan setelah satu persatu terselesaikan.

Aku memang sedang kewalahan atasi peperangan jiwa dan kepala. Aku tak mau mendengar kata rindumu itu. Aku juga tidak mau mengeluhkan seberapa aku ingin kau tahu bahwa aku ingin memborong waktu hanya untuk berbincang hangat denganmu diselingi senda gurau dan tawa-tawa yang melebur. 
Aku sedang tidak ingin berlabuh di bahumu
Aku sedang tidak ingin bicara dulu


Aku ingin jeda
aku ingin jeda ceritakan padaku pantaskah apa yang kulakukan ini
aku ingin jada katakan bagaimana kelanjutan ceritannya
dari puan yang sedang risau
yang tidak ingin terjebak dalam ketidakhirauanmu
Newer Posts
Older Posts

Pemilik Ruang


Halo, selamat datang di Ruang Tenang! Senang mengetahuimu mengunjungi ruanganku, tempat aku melarikan diri dari kegaduhan dunia. Di sini kau akan bertemu sekat-sekat ruang dalam kepalaku yang begitu sesak menjadi untaian kata-kata.

Mari Berteman

Labels

Berdikari Jurnal Karya Teman Hidup

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2021 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2020 (11)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2019 (5)
    • ▼  November (1)
      • Memeluk Luka
    • ►  Agustus (1)
      • Cermin
    • ►  Juli (1)
      • Dari INTP yang Kaku Menjadi INFP yang Lembek
    • ►  Februari (2)
      • Menyesuaikan atau Memaksakan Diri?
      • Berjeda
  • ►  2018 (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)


FOLLOW ME @INSTAGRAM





Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates