Memeluk Luka
Dulu sempat berpikir kalau Instagram itu toxic abis. Banyak sekali komen-komen jahat, memamerkan kekayaan dan apapun yang ada di sana. Sampai beberapa bulan buka Instagram hanya kalau ada notifikasi selebihnya tidak mengunggah foto apapun yang biasanya sering sekali. Tapi semakin ke sini sebenarnya kita sendiri yang memagari diri, bahkan untuk akun media sosial milik kita. Kita yang kendalikan itu semua dan tidak membiarkan satu orang pun turut campur tangan. Aku mulai berhenti mengikuti akun-akun yang sekiranya membawa dampak buruk untukku, baik dalam diri maupun di luar. Dari dalam, contohnya rasa iri, dengki, dan marah melihat orang-orang yang lebih sukses dariku. Dari luar, contohnya sampai akhirnya aku membuat perubahan diri dan diet habis-habisan untuk mencapai berat badan yang ideal, lagi-lagi karena terpengaruh dan menelan semuanya bulat-bulat.
Sampai fase di mana aku lebih
bijak menggunakan media sosial, aku tidak lagi berkomentar manis di foto orang
yang sebenarnya menurutku biasa saja. Tapi karena mereka sering -mengomentariku
dengan puji-pujian, akhirnya aku balik mengomentari mereka. Jatuhnya seperti
balas budi yang diharuskan. Aku mulai berhenti melakukan itu. Mencoba menyukai
foto-foto atau hal-hal yang memang sekiranya menurutku bagus dan layak. Bagus dan
layak itu hanya di mataku, mungkin di mata orang lain berbeda. Setelah
sekiranya aku membersihkan akun media sosialku, kemudian aku mulai mengikuti
akun-akun yang berkonten baik yang mengedukasi, seperti info-info pendidikan,
kepribadian, mental health, sastra,
dan hal-hal positif lainnya.
Semakin banyak aku membaca,
semakin sadar aku akan banyaknya kekurangan dan ketoledoranku atas
memperlakukan sesama manusia. Banyak sekali hal-hal yang aku sadari semenjak
itu, semenjak memutuskan diriku masuk ke lingkaran yang lebih positif. Aku pun
menyadari kesalahan-kesalahanku di masa lalu yang mungkin memperlakukan mereka
tidak semestinya, tidak sesuai dan jauh dari kemanusiaan. Mulai dari situ aku
berpikir, aku tidak mau menjadi aku yang dulu. Dan bagaimana, ya, caranya untuk
aku bisa memperlakukan mereka dengan baik? Bukan hanya yang aku kenal, tapi
semua manusia, siapapun mereka.
Aku diberkati dengan kemampuan
yang sejak Sekolah Dasar ada. Orang-orang senang bercerita kepadaku. Mereka bilang
aku pendengar yang baik. Mereka bilang aku bisa membuat mereka lebih tenang. Mereka
bilang bercerita denganku begitu menyenangkan. Aku memang senang sekali
mendengarkan cerita orang. Saat aku kecil Mama selalu bercerita apapun tentang
kehidupannya, alih-alih menanggapi aku justru tertidur. Aku suka sekali mendengar
cerita, hangat rasanya, seperti ada jiwa yang terikat. Intim. Begitu sepanjang
masa sekolahku, aku selalu menjadi tempat cerita dan senang menjaganya agar
tidak keluar dari mulutku kemudian kubeberkan. Tidak. Itu bukan aku. Yang aku
adalah; memikirkan yang terjadi pada mereka kemudian kuanalisis kemudian
kupetik pelajaran di dalamnya.
Masuk ke ranah dewasa, jiwa sepi
rasanya semakin menguasai. Ini hanya aku atau mereka juga merasakan? Aku bertanya-tanya.
Mungkin hanya aku, karena tidak memiliki pasangan. Mungkin mereka bahagia. Rupanya
tidak. Beberapa teman dekatku bercerita, meski ia miliki pasangan sepi pun
masih menyelusup ke relungnya. Aku bertanya pada diriku, bagaimana bisa? Apa yang
menyebabkan itu semua?
Suatu waktu, aku iseng sekali.
Tidak ada kegiatan, lalu kutanya mereka di Instagram. Kutawarkan mereka untuk
bercerita. Satu-dua dan lama-lama semakin banyak. Aku terkejut kali pertama
membaca cerita-cerita mereka. Pilu. Sakit rasanya. Ternyata banyak terluka. Ternyata
bukan aku saja. Ternyata semua manusia memiliki sakitnya sendiri. Aku, remaja
di awal dewasa terkejut menyadari betapa memang hidup senang sekali memainkan
hati manusia. Diobrak-abrik. Aku, dengan sedikit pengalamanku, berusaha untuk
memberikan sedikit penghangat dan solusi melalui kata-kata agar mereka tidak
merasa sendiri. Agar mereka kuat menjalani. Agar mereka tahu aku ada kalau
mereka butuh. Agar mereka tahu bahwa orang asing bisa sebegitu pedulinya.
Aku tidak rutin melakukannya. Karena
aku juga manusia yang memiliki luka, masalah dan urusannya sendiri. Ketika kondisiku
juga sedang tidak baik-baik saja, aku tidak berani untuk menenangkan mereka. Aku
tidak berani untuk bertanya, bagaimana harimu? Karena tidak memiliki energi
yang cukup untuk melakukan itu. Aku tidak ingin sekadar bertanya, setelah tahu
kemudian aku hilang tidak menanggapi lagi karena aku tidak memiliki energi yang
cukup dan enggan memaksakan diri. Itulah mengapa, tidak aku lakukan secara
rutin dan terjadwalkan. Aku kerap hilang, menarik diri dari khalayak, tidak
tampil di mana-mana ketika aku sedang bersedih, ketika hatiku berkabung. Aku tidak
mau energi burukku mereka serap dan pindah ke dalam diri mereka. Aku tidak lagi
mau menjadi orang marah dengan kata-kata yang kasar. Aku tidak lagi mau menjadi
orang yang sedang lelah kemudian mengeluh dengan kata-kata yang memengaruhi. Aku
tidak lagi mau menjadi orang yang ketika bersedih kemudian menyalah-nyalahkan
hal yang membuatku sedih.
Aku memilih begitu demi tidak ada
energi negatif yang diserap orang lain dariku. Aku akan mengeluarkannya tanpa
harus diserap oleh siapa-siapa. Setelah jauh merasa lebih baik, aku akan hadir
kembali untuk mereka yang mungkin masih patah hatinya, mungkin masih sedih,
mungkin masih tidak tahu harus kemana dan cerita pada siapa. Aku ada. Aku datang
dengan menanyakan mereka, apa yang begitu menyakitkan yang sedang mereka
rasakan. Aku akan memeluknya melalui kata-kata. Karena aku sadar, hanya itu
yang aku bisa. Sekiranya aku ingin tulisanku hangat di jiwa mereka, menjadi
pembangkit semangat dan yang paling penting mereka tidak merasa sendirian.
Aku senang bisa sedikit membantu
mereka. Tidak jarang aku terenyuh ketika beberapa dari mereka berkata terima
kasih dan sudah jauh lebih baik. Aku tidak tahu mengapa ternyata
kalimat-kalimat yang aku tulis sebegitu mereka serap dan berdampak. Itulah mengapa
aku tidak mau menuliskan energi negatifku.
Semoga jiwa-jiwa yang terluka,
hati-hati yang patah akan segera pulih dan menemukan obatnya.
Semoga mereka akan selalu baik-baik saja.
Semoga mereka akan selalu baik-baik saja.
Semoga ada waktu di mana mereka
menyadari bahwa luka mengajarkan untuk menjadi lebih dewasa.
Semoga aku akan selalu ada untuk
mereka.
Semoga kita semua selalu dalam
kebaikan.
0 comment