Memeluk Luka

by - November 21, 2019



Dulu sempat berpikir kalau Instagram itu toxic abis. Banyak sekali komen-komen jahat, memamerkan kekayaan dan apapun yang ada di sana. Sampai beberapa bulan buka Instagram hanya kalau ada notifikasi selebihnya tidak mengunggah foto apapun yang biasanya sering sekali. Tapi semakin ke sini sebenarnya kita sendiri yang memagari diri, bahkan untuk akun media sosial milik kita. Kita yang kendalikan itu semua dan tidak membiarkan satu orang pun turut campur tangan. Aku mulai berhenti mengikuti akun-akun yang sekiranya membawa dampak buruk untukku, baik dalam diri maupun di luar. Dari dalam, contohnya rasa iri, dengki, dan marah melihat orang-orang yang lebih sukses dariku. Dari luar, contohnya sampai akhirnya aku membuat perubahan diri dan diet habis-habisan untuk mencapai berat badan yang ideal, lagi-lagi karena terpengaruh dan menelan semuanya bulat-bulat.

Sampai fase di mana aku lebih bijak menggunakan media sosial, aku tidak lagi berkomentar manis di foto orang yang sebenarnya menurutku biasa saja. Tapi karena mereka sering -mengomentariku dengan puji-pujian, akhirnya aku balik mengomentari mereka. Jatuhnya seperti balas budi yang diharuskan. Aku mulai berhenti melakukan itu. Mencoba menyukai foto-foto atau hal-hal yang memang sekiranya menurutku bagus dan layak. Bagus dan layak itu hanya di mataku, mungkin di mata orang lain berbeda. Setelah sekiranya aku membersihkan akun media sosialku, kemudian aku mulai mengikuti akun-akun yang berkonten baik yang mengedukasi, seperti info-info pendidikan, kepribadian, mental health, sastra, dan hal-hal positif lainnya.

Semakin banyak aku membaca, semakin sadar aku akan banyaknya kekurangan dan ketoledoranku atas memperlakukan sesama manusia. Banyak sekali hal-hal yang aku sadari semenjak itu, semenjak memutuskan diriku masuk ke lingkaran yang lebih positif. Aku pun menyadari kesalahan-kesalahanku di masa lalu yang mungkin memperlakukan mereka tidak semestinya, tidak sesuai dan jauh dari kemanusiaan. Mulai dari situ aku berpikir, aku tidak mau menjadi aku yang dulu. Dan bagaimana, ya, caranya untuk aku bisa memperlakukan mereka dengan baik? Bukan hanya yang aku kenal, tapi semua manusia, siapapun mereka.

Aku diberkati dengan kemampuan yang sejak Sekolah Dasar ada. Orang-orang senang bercerita kepadaku. Mereka bilang aku pendengar yang baik. Mereka bilang aku bisa membuat mereka lebih tenang. Mereka bilang bercerita denganku begitu menyenangkan. Aku memang senang sekali mendengarkan cerita orang. Saat aku kecil Mama selalu bercerita apapun tentang kehidupannya, alih-alih menanggapi aku justru tertidur. Aku suka sekali mendengar cerita, hangat rasanya, seperti ada jiwa yang terikat. Intim. Begitu sepanjang masa sekolahku, aku selalu menjadi tempat cerita dan senang menjaganya agar tidak keluar dari mulutku kemudian kubeberkan. Tidak. Itu bukan aku. Yang aku adalah; memikirkan yang terjadi pada mereka kemudian kuanalisis kemudian kupetik pelajaran di dalamnya.

Masuk ke ranah dewasa, jiwa sepi rasanya semakin menguasai. Ini hanya aku atau mereka juga merasakan? Aku bertanya-tanya. Mungkin hanya aku, karena tidak memiliki pasangan. Mungkin mereka bahagia. Rupanya tidak. Beberapa teman dekatku bercerita, meski ia miliki pasangan sepi pun masih menyelusup ke relungnya. Aku bertanya pada diriku, bagaimana bisa? Apa yang menyebabkan itu semua?

Suatu waktu, aku iseng sekali. Tidak ada kegiatan, lalu kutanya mereka di Instagram. Kutawarkan mereka untuk bercerita. Satu-dua dan lama-lama semakin banyak. Aku terkejut kali pertama membaca cerita-cerita mereka. Pilu. Sakit rasanya. Ternyata banyak terluka. Ternyata bukan aku saja. Ternyata semua manusia memiliki sakitnya sendiri. Aku, remaja di awal dewasa terkejut menyadari betapa memang hidup senang sekali memainkan hati manusia. Diobrak-abrik. Aku, dengan sedikit pengalamanku, berusaha untuk memberikan sedikit penghangat dan solusi melalui kata-kata agar mereka tidak merasa sendiri. Agar mereka kuat menjalani. Agar mereka tahu aku ada kalau mereka butuh. Agar mereka tahu bahwa orang asing bisa sebegitu pedulinya.

Aku tidak rutin melakukannya. Karena aku juga manusia yang memiliki luka, masalah dan urusannya sendiri. Ketika kondisiku juga sedang tidak baik-baik saja, aku tidak berani untuk menenangkan mereka. Aku tidak berani untuk bertanya, bagaimana harimu? Karena tidak memiliki energi yang cukup untuk melakukan itu. Aku tidak ingin sekadar bertanya, setelah tahu kemudian aku hilang tidak menanggapi lagi karena aku tidak memiliki energi yang cukup dan enggan memaksakan diri. Itulah mengapa, tidak aku lakukan secara rutin dan terjadwalkan. Aku kerap hilang, menarik diri dari khalayak, tidak tampil di mana-mana ketika aku sedang bersedih, ketika hatiku berkabung. Aku tidak mau energi burukku mereka serap dan pindah ke dalam diri mereka. Aku tidak lagi mau menjadi orang marah dengan kata-kata yang kasar. Aku tidak lagi mau menjadi orang yang sedang lelah kemudian mengeluh dengan kata-kata yang memengaruhi. Aku tidak lagi mau menjadi orang yang ketika bersedih kemudian menyalah-nyalahkan hal yang membuatku sedih.

Aku memilih begitu demi tidak ada energi negatif yang diserap orang lain dariku. Aku akan mengeluarkannya tanpa harus diserap oleh siapa-siapa. Setelah jauh merasa lebih baik, aku akan hadir kembali untuk mereka yang mungkin masih patah hatinya, mungkin masih sedih, mungkin masih tidak tahu harus kemana dan cerita pada siapa. Aku ada. Aku datang dengan menanyakan mereka, apa yang begitu menyakitkan yang sedang mereka rasakan. Aku akan memeluknya melalui kata-kata. Karena aku sadar, hanya itu yang aku bisa. Sekiranya aku ingin tulisanku hangat di jiwa mereka, menjadi pembangkit semangat dan yang paling penting mereka tidak merasa sendirian.

Aku senang bisa sedikit membantu mereka. Tidak jarang aku terenyuh ketika beberapa dari mereka berkata terima kasih dan sudah jauh lebih baik. Aku tidak tahu mengapa ternyata kalimat-kalimat yang aku tulis sebegitu mereka serap dan berdampak. Itulah mengapa aku tidak mau menuliskan energi negatifku.

Semoga jiwa-jiwa yang terluka, hati-hati yang patah akan segera pulih dan menemukan obatnya.
Semoga mereka akan selalu baik-baik saja.
Semoga ada waktu di mana mereka menyadari bahwa luka mengajarkan untuk menjadi lebih dewasa.
Semoga aku akan selalu ada untuk mereka.
Semoga kita semua selalu dalam kebaikan.

You May Also Like

0 comment