Dari INTP yang Kaku Menjadi INFP yang Lembek
Sekitar SMP kelas 3 gua ikut tes IQ sekaligus tes kepribadian di sekolah. Selang beberapa minggu hasilnya baru keluar. Kemudian dinyatakan kalau IQ gua masuk kategori superior dan kepribadian gua INTP. Tapi gua nggak ada cikal bakal Einstein karena goblo hitung-hitungan, tapi entah kenapa SMA gua nyasar ke IPA.
Gua nggak tau kapan kepribadian INTP itu muncul, entah dari kecil entah berubah di tengah jalan karena dulu gua belum terlalu paham tentang kepribadian. Lebih tepatnya sih karena gua bodo amat pada saat itu. Iya, bodo amat. Itu yang melekat kuat di darah dan daging gua sebagai seorang INTP.
INTP atau Introversion, Intuition, Thinking, Perception. Sering disebut sebagai ahli logika. Segitu ahli logikanya sampai gua merasa gua nggak berperasaan pada waktu itu. Gimana enggak? Gua sama sekali nggak pernah menganggap manusia itu penting atau gua nggak percaya manusia itu makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri. Gua yang pada saat itu amat sangat mandiri yang kebablasan, segala sesuatu halnya selalu gua lakukan sendiri. Itu cukup sebagai bukti manusia bukan makhluk sosial. Sampai gua benci banget sama yang namanya kerja kelompok. Dari situ setiap ada tugas kelompok gua yang selalu ambil alih karena gua nggak percaya sama kinerja orang lain yang menurut gua nggak memuaskan.
Selama gua SMP, gua nggak pernah mau berbaur dengan orang lain. Menyapa, senyum, ngajak ngobrol duluan adalah hal yang haram bagi gua. Buat apa? Gua nggak butuh mereka. Itu yang selalu gua pikirkan. Sumpa, kalau ada orang kayak gitu di hidup gua juga gua bencinya bukan main. I hate my old self. Gila. Segitunya gua. Sombong. Gua selalu berpikir, gimana ya orang lain melihat gua waktu itu?
Gua orangnya juga sangat nggak bisa dipaksa untuk mengikuti kemauan orang lain. Atau nanti gua bakalan tiba-tiba pergi menjauh dari hidup orang itu dan bahkan lihat mukanya aja nggak mau. Selama SMP gua nggak ikut satupun organisasi di sekolah, balik lagi gua selalu bertanya "Buat apa?" yang menurut gua itu cuma bikin gua capek, buang-buang waktu, nggak bebas dan terikat pada satu hal yang mengatur. Apalagi gua benci dengan sesuatu hal yang berbau senioritas.
Gua nggak ngerti kenapa dulu hati gua kayak batu, nggak ada getarannya akan suatu hal. Hari lebaran gua biasa-biasa aja, setiap gua buat salah gua nggak mau minta maaf duluan, ada orang nangis selalu gua bilang lebay. Ngapain sih nangis untuk sesuatu hal? Nggak perlu. Bahkan gua nggak bisa inget kapan selama menjadi INTP gua nangis. Setiap ada rasa emosi gua lampiasinnya dengan marah-marah, diem, dan menyendiri. Tapi gua nggak bisa nangis. Gua nggak pernah sudi untuk menangisi apapun.
Bahkan sekalipun gua nggak punya teman mungkin gua bisa survive sendirian, berkat rasa kebodoamatan gua itu. Gua selalu nggak peduli gua punya teman atau nggak, gua bisa ngobrol sama orang atau nggak. Lagi pula isi kepala gua udah cukup berisik karena gua selalu berpikir tentang apapun, kalaupun gua sendiri masih ada pikiran gua yang bisa gua ajak ngobrol.
So, gua nggak butuh siapapun.
Gua bisa sendiri.
Ditambah dengan manusia di sekitar gua yang can't relate. Gua nggak menemukan kecocokan-kecocokan. Intinya, gua benci manusia yang nggak secocokan. Mungkin 1:1000 yang bisa cocok sama gua. Kalaupun berdiskusi gua nggak mau melibatkan banyak orang, dan gua prefer empat mata. Semua introvert pasti merasakan hal yang lelah kalau terlalu lama duduk di kerumunan orang, apalagi kalau kerumunan itu banyak yang nggak cocok. Gua selalu mementingkan 1 orang yang penting cocok, ketimbang 10 orang tapi sama sekali nggak cocok. Lebih baik gua sendiri.
Itulah sebab-sebabnya gua nggak punya teman.
Bisa dibilang gua manusia kayu: kaku parah. Kalau lagi bareng teman gua, terus tiba-tiba teman gua didatengin temannya yang lain, gua seketika diam, nggak ngomong maupun senyum. Gua berpikir, itu bukan teman gua, gua nggak perlu ngajak ngomong dan ngapain juga. Setiap gua lewat depan orang kayaknya gua nggak pernah bilang permisi, selonong aja. Kerjaannya jarang banget salim sama guru, kalau ketemu guru gua muter balik. Gua menghindari hal-hal yang bisa bikin gua ketemu sama orang lain yang memaksa gua untuk menyapa.
Masuk SMA, mungkin di sini perubahannya. Gua mulai berpikir gua nggak mungkin jadi diri gua yang dulu terus. Di samping gua INTP kayaknya gua tetap butuh orang untuk diajak berteman. Even tho awal masuk gua masih cool-cool ala INTP nggak mau ngajak orang kenalan duluan, nggak mau ngajak ngomong duluan. Tapi akhirnya gua punya teman, cukup banyak.
Ini bukan geng, tapi kalau main langsung besar-besaran. Nyaris setiap hari ngumpul sampai Magrib dan nonton sesering mungkin. Gua merasakan euforia yang belum pernah gua rasakan, yaitu punya banyak teman. Asyik.
Tapi semakin lama, gua semakin capek.
Iya, gua capek. Gua act like extrovert selama 1,5 tahun kurang lebih. Setiap gua sampai rumah setelah perkumpulan yang terlalu sering itu, bikin gua capek, ngantuk, uring-uringan. Baterai gua habis total. Gua melupakan jati diri gua sebagai introvert yang nggak bisa diforsir sedemikian untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang. Sementara gua melebihi batas. Gua ketawa-ketawa, gua nyanyi-nyanyi, gua ngebanyol everything, do something stupid, itu kayak bukan gua.
Akhirnya, gua ngedrop parah. Baterai gue korsleting.
Gimana enggak? Introvert memaksakan dirinya menjadi seorang extrovert yang menurut gua tolol, sangat-sangat tidak peduli dan mencintai dirinya sendiri semata untuk kebahagiaan orang lain. Di situ gua tiba-tiba hobi menyendiri (lagi). Gua selalu mencari cozy corner, yaitu di depan kelas 11 gua dulu. Rasanya adem, relaks, nggak ada tekanan apa-apa sambil gua nyender ke tembok. Rasanya setiap kali di situ sambil lihatin orang yang lewat gua lagi body charging. Gua lagi isi baterai gua yang baru diganti. Gua tiba-tiba jadi nggak banyak omong, gua lebih sering mengamati, tapi rasanya nggak sebodo amat dulu, rasanya ada yang berbeda dari gua SMP.
Dan gua iseng-iseng tes kepribadian online, tentu mengisinya sesuai kondisi gua pada saat itu. Kemudian hasilnya keluar. Gua kaget setelah lihat hasilnya itu INFP. Lho, kok bisa? Bukannya gua INTP? Terus gua browsing apa kepribadian seseorang bisa berubah atau nggak, dan rupanya memang bisa karena faktor-faktor tertentu.
Gua merasakan banget perubahan yang signifikan, terutama pada kondisi emosional gua. Gua yang dulu sama sekali nggak sensitif atau biasa aja akan sesuatu, jarang nangis dan lain sebagainya, terus gua heran kok tiba-tiba gua bisa nangis karena suatu hal yang sepele, yang menyenggol ketenangan gua. Dari situ gua mulai menelaah perubahan-perubahan yang terjadi pada hidup gua dari gua tau kalau gua ini INTP kemudian INFP. Gua jajarin keduanya, gua jadiin bahan perbandingan. Dan super beda. Gua ternyata kurang open dengan diri sendiri sampai perubahan itu aja nggak gua sadari.
Semakin hari gua merasa semakin lebay, semakin lembek, tapi tetap dibungkus dengan cool ala INTP dicampur muka gua memang nggak nyelo. Jadi, gua akan selalu terlihat baik-baik saja, nggak ada rona-rona kesedihan yang terpancar. Tapi batiniah gua kayak merasa selalu iba akan hal di sekitar gua. Gua jadi lebih peduli akan hal-hal kecil yang dulu gua bodo amatin.
Mulai dari omongan orang yang tiba-tiba gua ambil hati. Nangis.
Ditinggalin teman-teman entah karena apa secara tiba-tiba. Nangis lagi.
Ada konflik yang bikin gua kesel banget. Nangis lagi dan lagi.
Yang padahal dulu gua anti banget nangis, gua selalu marah atau diam.
Rasanya gua nggak bisa melihat orang lain sedih, gua nggak sanggup. Gua selalu mau merangkul siapapun yang memiliki luka, walaupun gua sendiri terluka. Gua nggak tega melihat isi dunia ini saling sakit-menyakiti. Rasanya mau marah, dan definisi marah yang gua tulis ini sekarang menjadi tangis. Setiap apapun yang mengganggu perasaan gua, gua cuma bisa nangis. Gua nggak ngerti kenapa bisa semelankolis itu. Ditambah gua pencinta sastra dan hobi menulis, suka baca juga. Semakin banyak yang gua baca, semakin tinggi sensitifitas gua. Gua semakin sering nangis hanya karena baca sesuatu hal yang menyayat. Atau bahkan gua bisa nangis karena imajinasi gua sendiri yang padahal itu nggak nyata. Sumpa, jauh dari logis.
Sampai sekarang gua kuliah, gua masih INFP. Tapi entah, kadang gua merasa capek. Sangat-sangat capek menjadi INFP. Akhir-akhir ini gua semakin parah dalam tingkat memikirkan orang lain daripada diri sendiri. Dan gua selalu merasa diri gua itu susah untuk dimengerti. Apa-apa yang gua lakukan selalu disalahartikan oleh orang-orang. Perilaku gua begini dianggapnya begitu, jadi gua selalu harus menjelaskan maksud gua dengan detail. Padahal, sebenarnya hal itu nggak perlu. Bagi gua, kalau orang itu serius mau mengerti, dia akan berjuang dengan sungguh-sungguh gimana si INFP ini.
Mudah bagi gua sebagai seorang INFP untuk membaca karakter orang yang lainnya. Tapi sulit untuk orang lain mengerti INFP yang rumit ini. Sometimes bangga jadi INFP, sometimes sedih juga karena "KOK SUSAH SIH PUNYA ORANG YANG BISA NGERTI?" (tanpa harus selalu gua jelaskan ini itunya)
Sampai akhirnya ruang lingkup gua semakin kecil, semakin banyak yang memilih pergi dari hidup gua. Apalagi kalau nggak nangis? Apalagi kalau nggak menyalahkan diri sendiri? Apalagi kalau bukan selalu mengingat-ingat kebaikannya? INFP itu "always looking for the hint of good in even the worse of people and events" ketimbang menyalahkan mereka, gua malah jadi mikir setiap potongan-potongan kecil kebaikan mereka di hidup gua. Apapun itu. Yang bikin gua sulit membenci sesuatu. Nggak kayak gua waktu INTP, mudah banget rasanya untuk membenci suatu hal, kalau sekarang ini enggak. Gua nggak bisa membenci apapun dan siapapun, terlepas dari tindakannya buruk atau nggak karena gua selalu percaya masih ada hal baik di samping itu.
Nggak sedikit yang bilang kalau gua ini jutek, dingin, cuek, aneh, ya gitu-gitu deh. Tapi yaudah mau gimana, kedukung juga sama muka gua yang nggak nyelo. Sebenarnya gua ini nggak pernah kesulitan berada di suatu tempat yang baru, makanya gua nggak takut kemana-mana sendiri, nyasar berkali-kali sendiri. Cuma aja nggak mudah untuk menemukan orang yang cocok, dan nggak mudah untuk dekat sama gua. Balik lagi; susah dimengerti/ditebak.
But, kalau kalian lihat gua sama orang yang uda "klop" banget, gua bakalan berbeda 180 derajat mungkin. Gua bisa bercanda kok, gua humoris kok, gua juga childish kok di balik sifat kedewasaan gua dan kata-kata bijak gua yang seliweran muncul di kepala. INFP: 50% mature and 50% childish. Heuu
Gua mau bahas sedikit tentang rasa dan logika
Sebagai mantan INTP di mana dominan menggunakan thinking/logika dan sekarang gua INFP di mana dominan menggunakan feeling/perasaan
menurut gua pribadi kedua itu harusnya balance/seimbang, nggak boleh berat sebelah, atau lebih baik kalau digunakan di waktu yang tepat. Karena kalau salah satunya menonjol bisa fatal. (seperti apa yang terjadi dengan gua)
Rasa yang unggul: buat kita terlihat bodoh
Logika yang unggul: buat kita terlihat tak acuh
Gua nggak setuju dengan ungkapan "cowok lebih logis, cewek lebih perasa" itu semua tergantung karakter dia sendiri.
Gua sebagai seorang perempuan, pernah selogis itu dan seperasa itu, sampai di titik sadar berat sebelah bikin nggak baik impactnya ke diri gua dan orang lain.
Jadi, mau cowok mau cewek mereka diharapkan imbang kedua aspek itu. Yaaaa walaupun nggak mudah, because I know that feel so well
0 comment