Cermin

by - Agustus 25, 2019


12 Mei 2019

Sembilan tahun yang lalu, tepatnya saat aku duduk di kursi kelas 5 Sekolah Dasar. Ada seorang anak baru pindahan dari Bandung, rambutnya pendek sebahu jatuh lurus dan selalu bergerak-gerak ketika ia berlari. Ia senang sekali berlari. Ia lebih tinggi dariku, lebih kurus juga. Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana bisa mengenalnya, tapi yang jelas aku tahu namanya setelah ia memperkenalkan diri di depan kelas. Widya, atau yang kupanggil Didy. Hanya aku yang memanggilnya begitu, yang lain tidak boleh! Ingat, ya?!

Sejak saat itu aku sudah mengincarnya, menjadikan ia target dan dalam hatiku berkata, “Manusia ini akan menjadi temanku.”. Entahlah, aku selalu begitu ketika melihat seseorang yang atraktif. Kemudian akhirnya kami berkawan. Tidak jelas bagaimana awalnya, yang pasti ia masuk ke dalam gengku yang aku ketuai. Rasanya ingin memaki diriku sendiri mengapa dulu terlalu bossy dan bertindak bahwa berkuasa itu perlu dan menyenangkan. Maafkan aku yang di usia Sekolah Dasar sudah sebegitunya.

Suatu ketika gengku runtuh, pecah-belah dan saling membentuk kubu baru. Roda seolah berputar, aku yang tadinya paling berkuasa menjadi yang paling tidak bisa apa-apa. Aku tersisihkan, tidak ada satu pun yang bisa kugenggam, termasuk Didy. Dia sangat membenciku kala itu. Sindiran-sindiran selalu terlontar. Dia dengan kubunya mengintimidasiku. Buku curhatanku yang saat itu kuletakkan di laci mejaku hilang, dugaanku diambil oleh mereka. Dan benar saja. Kudapati buku itu setelahnya sudah dicoret-coret dengan kalimat mengejek. Aku sedih, takut dan entah rasanya hancur. Aku tidak memiliki siapapun. Di saat yang bersamaan, kondisi keluargaku sedang sangat tidak membaik. Aku semakin tak keruan. Anak kelas 5 SD yang malang dan tidak punya rumah untuk berpulang. Buku curhatannya bahkan sudah dipenuhi kalimat-kalimat memuakkan.

Tapi, itu hanyalah cerita Sekolah Dasar.

Mengapa aku bisa memaafkan? Mengapa itu kini menjadi sebuah pembelajaran dan perjalanan yang patut ditertawakan?

Karena Didy bersamaku hingga kini.

Aku dan dia disatukan oleh guru karena ketahuan bermusuhan. Sejak itu kami dipaksa untuk bermaafan, duduk bersama di barisan paling depan. Lambat laun kami saling membutuhkan dan mengisi satu sama lain.

Setelah lulus SD, kami tetap berteman justru semakin dekat. Bahkan hanya dia teman Sekolah Dasarku yang hingga kini masih ada, berkomunikasi dan menjalin persahabatan denganku. Mereka yang dulu dekat denganku, kini justru seperti orang tidak kenal, tidak acuh dan seperti tidak pernah terlibat dalam kesehariannya.

Meski aku dan dia tidak satu sekolah saat SMP, tapi kami tetap menyempatkan waktu untuk bertemu, walaupun tidak setiap saat. Terlebih saat keluargaku memutuskan untuk pindah rumah dan berdampak pada sekolahku, membuat jarak rumah serta sekolahku semakin jauh dari jangkauannya. Tapi, itu bukanlah penghalang besar karena kami masih di kota yang sama. Sepulang sekolah atau di akhir pekan kami memutuskan bertemu. Di KFC dengan uang receh hasil kami menyisihkan uang. Berjam-jam duduk dengan menu yang sudah habis atau sesekali menyeruput es batu yang sudah mencair. Uangnya kami sisakan untuk membayar parkir yang semakin mahal tiap jamnya. Itu tidak terlalu kami pentingkan, cerita dan canda tawa adalah nomor satu. Juga sebagai lem paling rekat di antara kami.
Masa SMP di KFC dengan uang recehan

Setelah kejadian di Sekolah Dasar, aku dan dia tidak pernah lagi terlibat perselisihan. Entah mengapa, rasanya kami semakin lama semakin mengerti satu sama lain. Semakin mengisi dan semakin membutuhkan. Hubungan kami semakin erat. Aku yang moody dengan mudah bisa ia kendalikan.

Saat SMA pun kami tetap berbeda sekolah, tapi itu sudah menjadi hal biasa yang tidak menimbulkan keterkejutan apa-apa atau ketakutan tidak akan bertemu lagi atau menjadi sulit bertemu. Lagi-lagi itu bukan penghalang, kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu. Kami masih baik-baik saja dan tidak ada permasalahan apa-apa. Justru kami semakin dekat. Semakin saling menguatkan.

Masa SMA di McD masih tetap recehan


Sampai detik ini aku kuliah dan ia bekerja, kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu di sela-sela kesibukan kami masing-masing. bahkan segalanya tidak ada yang terasa berubah. Aku tetap bisa menghubunginya, ia tetap bisa menghubungiku. Kami tetap menjalin komunikasi yang baik. Sesekali curhat mengenai masalah, kami masih saling memberikan solusi dan uluran tangan.

24 Agustus 2018



Aku dan Didy memutuskan untuk bertemu.

Kau tahu? Meski aku tidak menceritakan apa-apa kepadanya tentang kepiluanku atau bercerita namun tak sampai detail, tapi aku sudah merasakan kelegaan hanya dengan berbincang padanya. Energinya merambat masuk dalam tubuhku, seperti gawai yang sedang dilakukan pengisian. Bateraiku ful. Seperti seluruh energiku yang disedot habis-habisan oleh mereka yang membutuhkan, dengan waktu singkat dapat ia kembalikan. Melalui pelukannya yang tidak pernah aku pinta, melalui senyum darinya yang menyimakku saat aku bercerita, semuanya membuatku baik-baik saja. Membuatku percaya bahwa tidak akan ada yang meninggalkanku.

Kuberi ia puisi kecil berjudul Cermin. Serupa dengan julukan yang kuberikan untuknya. Kalau dikatakan cermin adalah teman terbaik yang tidak pernah tertawa ketika aku bersedih, begitulah ia. Itulah mengapa julukan cermin kuberikan kepadanya. Sangat sesuai. Selain itu juga karena aku miliki cukup banyak kesamaan dengannya yang membuat kami terkoneksi saat berkomunikasi. Kutulis puisi itu di depannya karena aku ingin ia tahu bagaimana prosesnya, meski puisi itu sudah lama jadi. Puisi kecil yang tidak ada apa-apanya itu, kulambangkan sebagai piagam penghargaan untuknya karena telah berpengaruh besar untuk hidupku.
Beginilah puisi kecil itu;

Cermin

Cermin bisa meringankan
Beban yang bercokol di tenggorokan
Pertemuan
Percakapan
Melihatnya
Mendengarnya
Terbuka pintu jalan keluar
Serta uluran tangan




Aku selalu menulis dengan tulus, melahirkan kata-kata dari kalbu. Tidak ada yang kulebihkan tidak ada yang kukurangkan, begitulah adanya. Bertemu dah bicara padanya seperti membuka pintu untukku dari segala permasalahan dan di sanalah terletak uluran tangannya. Membantuku, menyelamatkanku.membuka pintu untukku dari segala permasalahan dan di sanalah terletak uluran tangannya. Membantuku, menyelamatkanku.

You May Also Like

0 comment