Cermin
Sembilan tahun yang lalu, tepatnya saat aku duduk di kursi
kelas 5 Sekolah Dasar. Ada seorang anak baru pindahan dari Bandung, rambutnya
pendek sebahu jatuh lurus dan selalu bergerak-gerak ketika ia berlari. Ia
senang sekali berlari. Ia lebih tinggi dariku, lebih kurus juga. Aku tidak tahu
awal mulanya bagaimana bisa mengenalnya, tapi yang jelas aku tahu namanya
setelah ia memperkenalkan diri di depan kelas. Widya, atau yang kupanggil Didy.
Hanya aku yang memanggilnya begitu, yang lain tidak boleh! Ingat, ya?!
Sejak saat itu aku sudah mengincarnya, menjadikan ia target
dan dalam hatiku berkata, “Manusia ini akan menjadi temanku.”. Entahlah, aku
selalu begitu ketika melihat seseorang yang atraktif. Kemudian akhirnya kami
berkawan. Tidak jelas bagaimana awalnya, yang pasti ia masuk ke dalam gengku
yang aku ketuai. Rasanya ingin memaki diriku sendiri mengapa dulu terlalu bossy dan bertindak bahwa berkuasa itu
perlu dan menyenangkan. Maafkan aku yang di usia Sekolah Dasar sudah
sebegitunya.
Suatu ketika gengku runtuh, pecah-belah dan saling membentuk
kubu baru. Roda seolah berputar, aku yang tadinya paling berkuasa menjadi yang
paling tidak bisa apa-apa. Aku tersisihkan, tidak ada satu pun yang bisa
kugenggam, termasuk Didy. Dia sangat membenciku kala itu. Sindiran-sindiran selalu
terlontar. Dia dengan kubunya mengintimidasiku. Buku curhatanku yang saat itu
kuletakkan di laci mejaku hilang, dugaanku diambil oleh mereka. Dan benar saja.
Kudapati buku itu setelahnya sudah dicoret-coret dengan kalimat mengejek. Aku
sedih, takut dan entah rasanya hancur. Aku tidak memiliki siapapun. Di saat
yang bersamaan, kondisi keluargaku sedang sangat tidak membaik. Aku semakin tak
keruan. Anak kelas 5 SD yang malang dan tidak punya rumah untuk berpulang. Buku
curhatannya bahkan sudah dipenuhi kalimat-kalimat memuakkan.
Tapi, itu hanyalah cerita Sekolah Dasar.
Mengapa aku bisa memaafkan? Mengapa itu kini menjadi sebuah
pembelajaran dan perjalanan yang patut ditertawakan?
Karena Didy bersamaku hingga kini.
Aku dan dia disatukan oleh guru karena ketahuan bermusuhan.
Sejak itu kami dipaksa untuk bermaafan, duduk bersama di barisan paling depan.
Lambat laun kami saling membutuhkan dan mengisi satu sama lain.
Setelah lulus SD, kami tetap berteman justru semakin dekat.
Bahkan hanya dia teman Sekolah Dasarku yang hingga kini masih ada,
berkomunikasi dan menjalin persahabatan denganku. Mereka yang dulu dekat
denganku, kini justru seperti orang tidak kenal, tidak acuh dan seperti tidak
pernah terlibat dalam kesehariannya.
Meski aku dan dia tidak satu sekolah saat SMP, tapi kami
tetap menyempatkan waktu untuk bertemu, walaupun tidak setiap saat. Terlebih saat
keluargaku memutuskan untuk pindah rumah dan berdampak pada sekolahku, membuat
jarak rumah serta sekolahku semakin jauh dari jangkauannya. Tapi, itu bukanlah
penghalang besar karena kami masih di kota yang sama. Sepulang sekolah atau di
akhir pekan kami memutuskan bertemu. Di KFC dengan uang receh hasil kami
menyisihkan uang. Berjam-jam duduk dengan menu yang sudah habis atau sesekali
menyeruput es batu yang sudah mencair. Uangnya kami sisakan untuk membayar
parkir yang semakin mahal tiap jamnya. Itu tidak terlalu kami pentingkan,
cerita dan canda tawa adalah nomor satu. Juga sebagai lem paling rekat di
antara kami.
![]() |
Masa SMP di KFC dengan uang recehan |
Setelah kejadian di Sekolah Dasar, aku dan dia tidak pernah
lagi terlibat perselisihan. Entah mengapa, rasanya kami semakin lama semakin
mengerti satu sama lain. Semakin mengisi dan semakin membutuhkan. Hubungan kami
semakin erat. Aku yang moody dengan
mudah bisa ia kendalikan.
Saat SMA pun kami tetap berbeda sekolah, tapi itu sudah
menjadi hal biasa yang tidak menimbulkan keterkejutan apa-apa atau ketakutan
tidak akan bertemu lagi atau menjadi sulit bertemu. Lagi-lagi itu bukan
penghalang, kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu. Kami masih baik-baik
saja dan tidak ada permasalahan apa-apa. Justru kami semakin dekat. Semakin
saling menguatkan.
![]() |
Masa SMA di McD masih tetap recehan |
Sampai detik ini aku kuliah dan ia bekerja, kami masih
menyempatkan waktu untuk bertemu di sela-sela kesibukan kami masing-masing.
bahkan segalanya tidak ada yang terasa berubah. Aku tetap bisa menghubunginya,
ia tetap bisa menghubungiku. Kami tetap menjalin komunikasi yang baik. Sesekali
curhat mengenai masalah, kami masih saling memberikan solusi dan uluran tangan.
Aku dan Didy memutuskan untuk bertemu.
Kau tahu? Meski aku tidak menceritakan apa-apa kepadanya
tentang kepiluanku atau bercerita namun tak sampai detail, tapi aku sudah
merasakan kelegaan hanya dengan berbincang padanya. Energinya merambat masuk
dalam tubuhku, seperti gawai yang sedang dilakukan pengisian. Bateraiku ful. Seperti
seluruh energiku yang disedot habis-habisan oleh mereka yang membutuhkan,
dengan waktu singkat dapat ia kembalikan. Melalui pelukannya yang tidak pernah
aku pinta, melalui senyum darinya yang menyimakku saat aku bercerita, semuanya
membuatku baik-baik saja. Membuatku percaya bahwa tidak akan ada yang
meninggalkanku.
Kuberi ia puisi kecil berjudul Cermin. Serupa dengan julukan
yang kuberikan untuknya. Kalau dikatakan cermin adalah teman terbaik yang tidak
pernah tertawa ketika aku bersedih, begitulah ia. Itulah mengapa julukan cermin
kuberikan kepadanya. Sangat sesuai. Selain itu juga karena aku miliki cukup
banyak kesamaan dengannya yang membuat kami terkoneksi saat berkomunikasi. Kutulis
puisi itu di depannya karena aku ingin ia tahu bagaimana prosesnya, meski puisi
itu sudah lama jadi. Puisi kecil yang tidak ada apa-apanya itu, kulambangkan
sebagai piagam penghargaan untuknya karena telah berpengaruh besar untuk
hidupku.
Beginilah puisi kecil itu;
Cermin
Cermin bisa meringankan
Beban yang bercokol di tenggorokan
Pertemuan
Percakapan
Melihatnya
Mendengarnya
Terbuka pintu jalan keluar
Serta uluran tangan
Aku selalu menulis dengan tulus, melahirkan kata-kata dari
kalbu. Tidak ada yang kulebihkan tidak ada yang kukurangkan, begitulah adanya. Bertemu
dah bicara padanya seperti membuka pintu untukku dari segala permasalahan dan di
sanalah terletak uluran tangannya. Membantuku, menyelamatkanku.membuka pintu
untukku dari segala permasalahan dan di sanalah terletak uluran tangannya.
Membantuku, menyelamatkanku.
0 comment