Sedarah Tak Mesti Searah
Jika ditanya, apa yang membuatku kali pertama merasa insecure dan merasa tidak berguna, aku akan menceritakan kisah ini. Kisah yang tidak pernah kuceritakan kepada orangnya langsung karena memang aku tidak mampu bercerita secara lisan.
Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara belasan tahun lalu sebelum tetiba mamaku mengandung adikku di usiaku 12 tahun. Aku dan kakakku hanya berselisih 3,5 tahun. Kami tumbuh seolah berdampingan, tetapi kerap bertengkar. Entah, kami tidak pernah menemukan kecocokan saat itu. Apa yang digemarinya tidak pernah dapat mencuri hatiku. Tetapi, aku selalu melihat apa yang kakakku kerjakan adalah sesuatu yang keren. Sesuatu yang mengagumkan. Tidak dengan apa yang aku kerjakan.
Saat itu, aku merasa sangat iri kepada kakakku sendiri. Ia bak sosok sempurna yang tidak pernah bisa aku setarakan. Tinggi, putih, cantik, pintar, banyak yang suka, berbakat, berprestasi, dan aku adalah kebalikannya. Meski sekilas wajah kami mirip, namun tetap saja pada garis-garis wajah terlihat jelas perbedaannya.
Biar kuperjelas. Aku pendek, gemuk, berkulit lebih cokelat, kalau pintar aku cukup pintar karena gemar membaca namun aku bodoh soal hitung-hitungan, tidak banyak yang suka, tidak pula berbakat (saat itu aku tak tahu bakatku), berprestasi hanya dalam kelas itu pun hanya ketika aku Sekolah Dasar, aku tidak mengikuti kegiatan organisasi, tidak pernah ikut lomba, tidak terlibat dalam kegiatan aktif yang membesarkan namaku.
Aku bukanlah anak yang aktif di sekolah, cenderung pasif dan pemalu. Sementara kakakku, siapa yang tidak kenal ia di sekolah? Ketua geng, ketua kelas, ketua osis, pandai menari bali, anak paskibra, ya seaktif itu. Bahkan, ketika aku masuk ke sekolah yang sama dengannya, aku selalu dipandang dan dikenal karena aku adalah adik kakakku, bukan karena siapa aku. Kupikir dulu itu baik-baik saja dan tidak menjadi masalah besar, namun rupanya itu semakin membuatku ingin seperti kakakku. Aku semakin menjadikannya role model yang dapat kutiru. Sebuah patokan.
Aku melihat hidupnya seru dan menyenangkan. Orang-orang yang ada di sekelilingnya terlihat menyayanginya. Dia memiliki banyak teman, tidak sepertiku. Bergantian teman-temannya datang ke rumah, akrab dengan ibuku seperti ibuku menambah anak baru. Sementara, aku jarang sekali membawa temanku datang ke rumah. Aku lebih suka bertandang ke rumah teman-temanku.
Ketika masuk SMP, kebetulan di sekolah yang sama seperti kakakku, aku pun dikenal karena nama kakakku. Mungkin karena kemana pun kakakku pergi aku selalu mengintilinya. Ketika ia lomba paskibra, sekeluarga ikut menontonnya dan orang-orang mulai mengetahuiku sebagai adiknya. Saat itu aku senang dikenal sebagai adik kakakku. Berarti, kakakku memiliki nama yang baik di mana pun ia pernah berada.
Aku mecoba mendaftarkan diri sebagai anggota OSIS, sebagaimana kakakku dulu. Diterima. Tetap dengan mata yang melirik-lirik, mereka tahu aku adiknya siapa. Satu dua hari aku telah ditetapkan sebagai anggota OSIS. Rasanya? Membosankan!
Lebih kurang seminggu setelah resmi menjadi anggota OSIS, aku mengundurkan diri. Aku merasa terkungkung dengan banyak aturan yang ada. Aku tak suka memakai dasi dan sabuk, tetapi terpaksa kugunakan demi menjadi contoh yang baik. Atau saat itu aku menjadi munafik dengan merazia murid-murid yang tidak memakai dasi, sabuk, ataupun topi. Aku tidak suka lingkaran ini. Kemudian kutinggalkan.
Menjadi kakakku tidaklah mudah. Tidak pula menyenangkan. Karena itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.
Kita hanya perlu menjadi diri sendiri. Bukan berusaha menjadi siapa-siapa di luar diri kita. Terlebih saudara sendiri yang mungkin sering dijadikan bahan pembanding.
Sedarah tak mesti searah. Tiap individu memiliki selera yang berbeda, meski lahir dari rahim yang sama. Semestinya, kita tidak perlu melihat saudara kita lebih keren, lebih berhasil, lebih baik, lebih cantik, atau lebih-lebih lainnya yang membuat kita memandang rendah kepada diri sendiri. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jika mungkin saat itu aku melihat kakakku sebagai sosok yang sempurna dan memandang hina diriku sendiri, itu karena aku tidak bersikap adil. Ya, aku tidak bersikap adil kepada diriku sendiri. Aku hanya memandang kelebihan kakakku dan membandingkannya dengan diriku yang kerap kupandang kekurangannya. Sangat-sangat tidak adil.
Kalau pun kita ingin melihat kelebihan seseorang, kita mesti melihat pula kelebihan diri sendiri. Dan kalau pun kita ingin melihat kekurangan seseorang, kita mesti melihat pula kekurangan diri sendiri. Agar kita bisa terbebas dari rasa tidak percaya diri dan menganggap diri tidak layak, merasa kurang, dan menganggap kehidupan orang lain lebih menyenangkan. Jika dengan orang lain saja yang jarang bertemu melelahkan, bagaimana dengan saudara kandung sendiri?
Hal ini pun, semestinya para orang tua lebih membuka mata pada perbedaan di antara anak-anaknya. Mengakui bahwa anaknya memiliki ketertarikan, bakat, dan potensi yang berbeda. Juga penting untuk tidak memaksakan kehendak supaya anak mengikuti jalan yang telah dipilihkan. Biarlah anak-anak itu memilih jalannya sendiri. Peran orang tua hanyalah mendukung dan mengayomi. Mendukung dari berbagai aspek, seperti mental dan finansial. Mengayomi dari berbagai sisi.
Sedarah tak mesti searah.
0 comment