Si Semata Wayang Tanpa Mama #Narasumber2
Utami Ayu Susilowati itulah dia narasumber kedua
saya. Dia adalah teman sekelas saya saat kelas 11 dan 12. Banyak sekali hal
yang dapat digali dari hidupnya rupanya. Orang-orang memandang dia pada mulanya
bukanlah anak baik-baik, begitupun saya yang sudah terkontaminasi dengan
sekitar. Dia yang jadi bahan gunjingan sana-sini karena status BBM-nya dulu
kala yang begitu mengumbar kenakalannya dan kesakithatiannya pada kehidupan. Saya
juga kunjung memperhatikan statusnya karena terlalu sering mendengar pembicaraan
orang-orang mengenai dirinya.
Kemudian saat kelas 11 tepatnya saat saya satu kelas
dengannya, saya tidak menemukan keanehan atau keganjilan yang begitu berarti. Biasa-biasa
saja. Apa yang saya lihat tidak seperti apa-apa yang orang lain bicarakan
selama ini.
Saya terus memperhatikan gerak-geriknya dan bisa
dibilang saya mengerti sebagian dari maksud gerak-gerik seseorang secara
psikologis. Hari demi hari saya melihat banyak perubahan di dirinya yang signifikan.
Ia lebih banyak diam. Akhirnya pada 06 Januari 2018 saya mewawancarainya di
sekolah.
Dia adalah anak tunggal dari kedua orang tua yang
sibuk bekerja. Saat ia kecil, ia di urusi oleh neneknya di kampung halaman. Sejak
Sekolah Menengah Pertama ia hidup dalam kekosongan, kesendirian dan kesepian
tanpa kakak dan adik. Mungkin itulah sebabnya mengapa ia selalu mencari
perhatian di sosial media, begitulah saya menyimpulkannya.
Kehancurannya semakin dalam saat ibu tercintanya
pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Direnggut dengan cara kecelakaan
tragis yang berhasil membuat banyak orang terkejut. Saya tak melewatkan
kesempatan untuk berkunjung ke rumah duka pada waktu itu, beberapa kali ia
pingsan dan menangis, berbicara ngawur yang mengatakan ingin ikut dengan
ibunya. Saya merasakan kepiluannya, sungguh. Mungkin semua orang yang datang
pun begitu.
Cucuran air mata menetes saat ia menjawab
bertubi-tubi pertanyaan yang saya lontarkan. Katanya, tak ada satupun yang ia
inginkan selain ibunya kembali. Tapi sayang, semua itu tidak mungkin terjadi. Katanya
juga, ia menyesal karena beberapa hari sebelum kepergian ibunya mereka sempat
bertengkar selayaknya ibu dan anak pada umumnya. Ia belum sempat meminta maaf,
ia belum sempat membanggakan ibunya, begitulah katanya.
Hati saya tersentak pilu membayangkan bagaimana
keadaannya saat kembali ke rumah, saat tak ada lagai canda tawa teman-temannya
yang menemani, saat sepi melandanya, saat tidak ada satupun orang yang bisa
mendengarkan keluh kesahnya. Saya tidak bisa membayangkan itu semua jika itu
terjadi kepada saya.
Ia juga berkata ingin berubah menjadi lebih baik
lagi dan mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya yang dulu. Saya bantu
karena lagi-lagi saya tidak suka melihat siapapun yang ingin berubah ditentang
dan tidak didukung.
Hari demi hari dia lebih sering menghabiskan waktu
di sekolah ketimbang bersama teman-temannya. Berbagai tatapan sinis saya
dapatkan, tapi tidak saya gubris dan anggap serius yang terpenting saya bisa
berbuat sesuatu hal yang positif bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga
untuk orang lain.
Akhirnya setelah saya banyak memberikan
masukkan-masukkan padanya saat saya mewawancarainya tempo lalu, ia sedikit demi
sedikit membawa hidupnya ke arah yang lebih baik. Kini juga ia memelihara
seekor kucing untuk menjadi temannya bermain di rumah.
Banyak sekali hal-hal yang dapat kita petik dari
hidupnya. Bersyukurlah jika masih memiliki orang tua yang lengkap semenyebalkan
apapun mereka, berbuatlah baik pada mereka, berbaktilah karena kita tidak
pernah tahu kapan akan dijemput oleh Sang Ilahi. Bisa jadi kita lebih dulu atau
mereka yang lebih dulu. Jangan takut untuk berubah ke arah yang lebih baik,
akan selalu ada jalan dan kemudahan.
Terima kasih telah menginspirasi.
0 comment