Si Semata Wayang Tanpa Mama #Narasumber2

by - Juni 21, 2018

Utami Ayu Susilowati itulah dia narasumber kedua saya. Dia adalah teman sekelas saya saat kelas 11 dan 12. Banyak sekali hal yang dapat digali dari hidupnya rupanya. Orang-orang memandang dia pada mulanya bukanlah anak baik-baik, begitupun saya yang sudah terkontaminasi dengan sekitar. Dia yang jadi bahan gunjingan sana-sini karena status BBM-nya dulu kala yang begitu mengumbar kenakalannya dan kesakithatiannya pada kehidupan. Saya juga kunjung memperhatikan statusnya karena terlalu sering mendengar pembicaraan orang-orang mengenai dirinya.
Kemudian saat kelas 11 tepatnya saat saya satu kelas dengannya, saya tidak menemukan keanehan atau keganjilan yang begitu berarti. Biasa-biasa saja. Apa yang saya lihat tidak seperti apa-apa yang orang lain bicarakan selama ini.
Saya terus memperhatikan gerak-geriknya dan bisa dibilang saya mengerti sebagian dari maksud gerak-gerik seseorang secara psikologis. Hari demi hari saya melihat banyak perubahan di dirinya yang signifikan. Ia lebih banyak diam. Akhirnya pada 06 Januari 2018 saya mewawancarainya di sekolah.
Dia adalah anak tunggal dari kedua orang tua yang sibuk bekerja. Saat ia kecil, ia di urusi oleh neneknya di kampung halaman. Sejak Sekolah Menengah Pertama ia hidup dalam kekosongan, kesendirian dan kesepian tanpa kakak dan adik. Mungkin itulah sebabnya mengapa ia selalu mencari perhatian di sosial media, begitulah saya menyimpulkannya.
Kehancurannya semakin dalam saat ibu tercintanya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Direnggut dengan cara kecelakaan tragis yang berhasil membuat banyak orang terkejut. Saya tak melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke rumah duka pada waktu itu, beberapa kali ia pingsan dan menangis, berbicara ngawur yang mengatakan ingin ikut dengan ibunya. Saya merasakan kepiluannya, sungguh. Mungkin semua orang yang datang pun begitu.
Cucuran air mata menetes saat ia menjawab bertubi-tubi pertanyaan yang saya lontarkan. Katanya, tak ada satupun yang ia inginkan selain ibunya kembali. Tapi sayang, semua itu tidak mungkin terjadi. Katanya juga, ia menyesal karena beberapa hari sebelum kepergian ibunya mereka sempat bertengkar selayaknya ibu dan anak pada umumnya. Ia belum sempat meminta maaf, ia belum sempat membanggakan ibunya, begitulah katanya.
Hati saya tersentak pilu membayangkan bagaimana keadaannya saat kembali ke rumah, saat tak ada lagai canda tawa teman-temannya yang menemani, saat sepi melandanya, saat tidak ada satupun orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Saya tidak bisa membayangkan itu semua jika itu terjadi kepada saya.
Ia juga berkata ingin berubah menjadi lebih baik lagi dan mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya yang dulu. Saya bantu karena lagi-lagi saya tidak suka melihat siapapun yang ingin berubah ditentang dan tidak didukung.
Hari demi hari dia lebih sering menghabiskan waktu di sekolah ketimbang bersama teman-temannya. Berbagai tatapan sinis saya dapatkan, tapi tidak saya gubris dan anggap serius yang terpenting saya bisa berbuat sesuatu hal yang positif bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga untuk orang lain.
Akhirnya setelah saya banyak memberikan masukkan-masukkan padanya saat saya mewawancarainya tempo lalu, ia sedikit demi sedikit membawa hidupnya ke arah yang lebih baik. Kini juga ia memelihara seekor kucing untuk menjadi temannya bermain di rumah.


Banyak sekali hal-hal yang dapat kita petik dari hidupnya. Bersyukurlah jika masih memiliki orang tua yang lengkap semenyebalkan apapun mereka, berbuatlah baik pada mereka, berbaktilah karena kita tidak pernah tahu kapan akan dijemput oleh Sang Ilahi. Bisa jadi kita lebih dulu atau mereka yang lebih dulu. Jangan takut untuk berubah ke arah yang lebih baik, akan selalu ada jalan dan kemudahan.

Terima kasih telah menginspirasi.

You May Also Like

0 comment