Ramah Tidak Menyebalkan
Setiap manusia pasti memiliki orang-orang yang berpengaruh dalam perubahan positif dirinya. Termasuk aku. Kali ini izinkan aku bercerita sedikit banyak tentang seseorang yang menjadi salah satu pengaruh besar dalam hidupku.
Dia adalah Gebi Aprilia Aritonang. Gadis yang baru
saja genap berusia 18 tahun pada 1 April lalu ini bertemu denganku di SMP,
tepatnya saat aku menjadi murid baru pada kelas 2 SMP yang saat itu sekelas
dengannya. First impression, aku tidak menyukainya. Terlebih dia yang selalu menebar
senyum ke siapa saja, menyapa siapa saja, berjalan dengan riangnya
kesana-kemari dan keceriaan lainnya yang membuatnya terlihat menyebalkan di
mataku. Aku tidak seperti dia, aku orang yang cuek, tidak peduli sekitar, tidak
suka menyapa orang lain lebih dulu dan tidak suka mengobrol dengan orang yang
kurasa tidak perlu, wajar saja jika aku tidak menyukainya.
Semakin hari aku merasa dia mendekatiku, tapi aku
selalu menanggapinya dengan biasa saja karena kembali lagi aku tidak suka
dengan orang terlalu banyak bicara. Pada akhirnya kami dipertemukan dalam satu
kelompok belajar. Karena satu insiden akhirnya kami dekat, aku juga tidak
terlalu memusingkan tingkah lakunya, kulihat juga dia tidak separah apa yang
aku pikirkan. Dia juga baik-baik saja jika bicara denganku dan kami nyambung
dalam pembicaraan. Lalu hari demi hari kami terus komunikasi lewat chatting maupun
video call. Dia asik, menyenangkan, perlahan-lahan apa yang aku pikirkan
tentangnya mulai memudar.
Hingga pada saatnya banyak sekali yang bicara miring
padaku tentangnya, mungkin karena aku sudah telihat sering bersama dengannya
akhir-akhir waktu. Banyak sekali kebencian-kebencian yang masuk ke dalam
telingaku, mereka bicara seperti apa yang aku pikirkan dulu tentangnya. Tapi
untung saja, aku bukanlah orang yang mudah percaya dan terhasut oleh kebencian
orang lain untuk ikut membencinya. Aku tetap menjadi temannya. Aku tetap bicara
dengannya. Aku tetap bersama dengannya.
Dalam kedekatanku dengannya, aku tetap menjadi
diriku dan dia tetap menjadi dirinya. Kami tidak saling menuntut untuk menjadi
siapa yang kami mau, tapi kami saling menerima siapa diri kami sebenarnya. Aku
tetap dengan ketidakacuhanku pada sekitar, aku hanya acuh dengan hal-hal yang
aku mau saja, seperti tentangnya contohnya. Dia tetap dengan keceriaannya,
senyumnya yang merekah setiap bertemu dengan orang lain, sapaan ‘hai’ yang
selalu keluar beriringan dengan senyum dan langkah kaki yang sedikit berlari. Dia
banyak bicara, banyak bahasan untuk diceritakan, sedangkan aku hanya diam saja
mendengarkan. Dia dikenal banyak orang, dia bicara dengan siapa saja, dia
memiliki banyak teman.
Hingga pada akhirnya entah kenapa aku bisa mendapat
pikiran bahwa menjadi dia itu sangat menyenangkan. Dikenal banyak orang, bicara
dengan siapa saja, memiliki banyak teman, tersenyum pada siapa saja, menyapa
siapapun bahkan yang tidak dikenal, tidak pernah terlihat murung dan selalu
ceria dalam keadaan terberat dalam hidupnya sekalipun. Aku tahu hidupnya tidak
benar-benar mulus dan ringan, tapi dia selalu bisa ceria di hadapan semua
orang. Sedangkan aku? Seem in a bad mood all the time. Hingga julukan jutek
tidak pernah luput dariku.
Pada saat masuk SMA tepatnya kelas 1, aku
memberanikan diri untuk setidaknya mengobrol dengan orang-orang baru meski
senyum dan menyapa lebih dulu masih sulit untuk kulakukan. Aku selalu ingat
apa-apa saja katanya, selalu ingat caranya ramah dan hangat yang kini aku
sukai. Lalu aku terapkan perlahan-lahan meski terkadang aku sering tak percaya
bisa lakukan itu, hal di luar diriku. Tapi, aku terus mencoba hingga aku merasa
dampaknya sangat baik untuk hidup dan diriku. Ternyata benar, aku lebih bisa
memiliki banyak teman dengan keramahan yang dulu menurutku menyebalkan, aku
bisa berinteraksi dengan siapa saja yang aku mau, aku bisa mendapatkan banyak
pelajaran dari mereka, aku juga lebih berpikiran terbuka.
Setiap aku berhasil menyapa orang lain lebih dulu
aku selalu tersenyum bangga setalahnya, itu achievement yang menurutku juga
patut untuk aku apresiasi. Satu-dua kali aku coba dan semakin lama semakin
menyenangkan. Meski awalnya malu dan takut tidak digubris, perasaan itu pasti
ada, tapi ternyata itu hanya pikiran jelek dalam otakku saja. Manusia tidak
sejahat itu jika kita memperlakukannya dengan baik.
Lalu aku mulai membiasakan diri saat kemanapun aku
pergi mengajak bicara orang lebih dulu. Berkenalan dengan orang baru ternyata
seasyik itu. Ternyata benar, kalau bahagia kita itu kita sendiri penciptanya.
Aku percaya akan hal itu. Sejak aku memberanikan diriku untuk ramah, aku mendapatkan
kebahagiaan dan aura positif. Jauh lebih bisa mengenal banyak orang dan orang
lain pun tidak hanya mengenalku karena aku jutek dan tidak peduli sekitar.
Kini aku percaya, ramah tidak menyebalkan.
Seharusnya aku tidak sebal melihat orang lain ramah atau menganggapnya tebar pesona, justru aku harus belajar lebih
banyak darinya karena ramah adalah salah satu modal dalam bersosialisasi.
Dikhususkan,
terima kasih Bi, telah mengajari banyak hal dan
membantuku menemukan aku yang baru.
0 comment