Ramah Tidak Menyebalkan

by - Juli 01, 2018






Setiap manusia pasti memiliki orang-orang yang berpengaruh dalam perubahan positif dirinya. Termasuk aku. Kali ini izinkan aku bercerita sedikit banyak tentang seseorang yang menjadi salah satu pengaruh besar dalam hidupku.

Dia adalah Gebi Aprilia Aritonang. Gadis yang baru saja genap berusia 18 tahun pada 1 April lalu ini bertemu denganku di SMP, tepatnya saat aku menjadi murid baru pada kelas 2 SMP yang saat itu sekelas dengannya. First impression, aku tidak menyukainya. Terlebih dia yang selalu menebar senyum ke siapa saja, menyapa siapa saja, berjalan dengan riangnya kesana-kemari dan keceriaan lainnya yang membuatnya terlihat menyebalkan di mataku. Aku tidak seperti dia, aku orang yang cuek, tidak peduli sekitar, tidak suka menyapa orang lain lebih dulu dan tidak suka mengobrol dengan orang yang kurasa tidak perlu, wajar saja jika aku tidak menyukainya.

Semakin hari aku merasa dia mendekatiku, tapi aku selalu menanggapinya dengan biasa saja karena kembali lagi aku tidak suka dengan orang terlalu banyak bicara. Pada akhirnya kami dipertemukan dalam satu kelompok belajar. Karena satu insiden akhirnya kami dekat, aku juga tidak terlalu memusingkan tingkah lakunya, kulihat juga dia tidak separah apa yang aku pikirkan. Dia juga baik-baik saja jika bicara denganku dan kami nyambung dalam pembicaraan. Lalu hari demi hari kami terus komunikasi lewat chatting maupun video call. Dia asik, menyenangkan, perlahan-lahan apa yang aku pikirkan tentangnya mulai memudar.

Hingga pada saatnya banyak sekali yang bicara miring padaku tentangnya, mungkin karena aku sudah telihat sering bersama dengannya akhir-akhir waktu. Banyak sekali kebencian-kebencian yang masuk ke dalam telingaku, mereka bicara seperti apa yang aku pikirkan dulu tentangnya. Tapi untung saja, aku bukanlah orang yang mudah percaya dan terhasut oleh kebencian orang lain untuk ikut membencinya. Aku tetap menjadi temannya. Aku tetap bicara dengannya. Aku tetap bersama dengannya.

Dalam kedekatanku dengannya, aku tetap menjadi diriku dan dia tetap menjadi dirinya. Kami tidak saling menuntut untuk menjadi siapa yang kami mau, tapi kami saling menerima siapa diri kami sebenarnya. Aku tetap dengan ketidakacuhanku pada sekitar, aku hanya acuh dengan hal-hal yang aku mau saja, seperti tentangnya contohnya. Dia tetap dengan keceriaannya, senyumnya yang merekah setiap bertemu dengan orang lain, sapaan ‘hai’ yang selalu keluar beriringan dengan senyum dan langkah kaki yang sedikit berlari. Dia banyak bicara, banyak bahasan untuk diceritakan, sedangkan aku hanya diam saja mendengarkan. Dia dikenal banyak orang, dia bicara dengan siapa saja, dia memiliki banyak teman.

Hingga pada akhirnya entah kenapa aku bisa mendapat pikiran bahwa menjadi dia itu sangat menyenangkan. Dikenal banyak orang, bicara dengan siapa saja, memiliki banyak teman, tersenyum pada siapa saja, menyapa siapapun bahkan yang tidak dikenal, tidak pernah terlihat murung dan selalu ceria dalam keadaan terberat dalam hidupnya sekalipun. Aku tahu hidupnya tidak benar-benar mulus dan ringan, tapi dia selalu bisa ceria di hadapan semua orang. Sedangkan aku? Seem in a bad mood all the time. Hingga julukan jutek tidak pernah luput dariku.

Pada saat masuk SMA tepatnya kelas 1, aku memberanikan diri untuk setidaknya mengobrol dengan orang-orang baru meski senyum dan menyapa lebih dulu masih sulit untuk kulakukan. Aku selalu ingat apa-apa saja katanya, selalu ingat caranya ramah dan hangat yang kini aku sukai. Lalu aku terapkan perlahan-lahan meski terkadang aku sering tak percaya bisa lakukan itu, hal di luar diriku. Tapi, aku terus mencoba hingga aku merasa dampaknya sangat baik untuk hidup dan diriku. Ternyata benar, aku lebih bisa memiliki banyak teman dengan keramahan yang dulu menurutku menyebalkan, aku bisa berinteraksi dengan siapa saja yang aku mau, aku bisa mendapatkan banyak pelajaran dari mereka, aku juga lebih berpikiran terbuka.

Setiap aku berhasil menyapa orang lain lebih dulu aku selalu tersenyum bangga setalahnya, itu achievement yang menurutku juga patut untuk aku apresiasi. Satu-dua kali aku coba dan semakin lama semakin menyenangkan. Meski awalnya malu dan takut tidak digubris, perasaan itu pasti ada, tapi ternyata itu hanya pikiran jelek dalam otakku saja. Manusia tidak sejahat itu jika kita memperlakukannya dengan baik.

Lalu aku mulai membiasakan diri saat kemanapun aku pergi mengajak bicara orang lebih dulu. Berkenalan dengan orang baru ternyata seasyik itu. Ternyata benar, kalau bahagia kita itu kita sendiri penciptanya. Aku percaya akan hal itu. Sejak aku memberanikan diriku untuk ramah, aku mendapatkan kebahagiaan dan aura positif. Jauh lebih bisa mengenal banyak orang dan orang lain pun tidak hanya mengenalku karena aku jutek dan tidak peduli sekitar.

Kini aku percaya, ramah tidak menyebalkan. Seharusnya aku tidak sebal melihat orang lain ramah atau menganggapnya tebar pesona, justru aku harus belajar lebih banyak darinya karena ramah adalah salah satu modal dalam bersosialisasi.




Dikhususkan,

terima kasih Bi, telah mengajari banyak hal dan membantuku menemukan aku yang baru.

You May Also Like

0 comment