twitter facebook instagram pinterest linkedin

Sky Cantiki

Menulis untuk hidup



Berangkat dari seorang anak yang rajin belajar dan mengerjakan PR sebelum diperintah, aku paling anti disontekin. Waktu SD aku bisa-bisa bikin bangunan tinggi di samping kanan kiri dan depanku dengan buku catatan pelajaran lain kalau ada teman yang melirik-lirik mencurigakan. Apalagi saat ulangan. Nggak ada sedikit pun celah yang bisa mereka intip.

Walaupun begitu, aku tetap bersedia untuk memberi tahu cara pengerjaan suatu soal ke teman yang bertanya dan niat belajar. Karena mereka masih punya effort untuk mengerjakan sendiri dengan cara yang aku beri tahu. Sebenarnya aku nggak pintar-pintar amat, tapi balik lagi ke atas: ku rajin belajar. Rajin pangkal pandai, bukan?

Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Facebook dan gadget sekitar kelas 5 SD. Taraf rajin belajarku menurun. Nggak males banget, masih sesekali belajar, tapi jatuhnya nggak fokus karena pikiranku lari-larian ke mana-mana. Nilai jadi banyak yang turun dan sering sekali HP-ku disita oleh mama supaya aku bisa belajar dengan fokus. Tapi, nggak ngaruh! Malah, aku semakin kepikiran dengan HP-ku itu.

Tahun demi tahun, masuk ke SMP aku semakin jauh dari namanya belajar. Belajar dalam artian baca buku pelajaran seperti yang sebelumnya sering aku lakukan. Mengisi soal di buku LKS di rumah sama sekali nggak pernah. Kerjaanku seharian tiduran sambil main HP. Diomelin sebagaimana bentuk omelan pun nggak mempan, malah cuma bikin aku tambah sebel.

Mulailah aku kebergantungan dengan sontek-menyontek. Iya, kebergantungan, karena sontek-menyontek itu candu. Segala jenis persontekan udah aku lakukan. Mulai dari browsing waktu ujian dan HP-nya aku dudukin atau aku taruh di sepatu, nulis berlembar-lembar materi di HVS dan ketika ujian HVS itu tanpa rasa gelisah sedikit pun aku taruh di atas meja sejajar dengan soal ulangan. Aku ini skeptis untuk nanya jawaban ke orang lain karena belum tentu benar dan orang yang pintar yaaa biasanya nggak mau disontekin (kayak aku dulu) makanya aku tulis materi dan cari jawabannya sendiri.

Perihal ketahuan? Udah seriiing bangeeet. 
Tapi aku kayak bebal aja gitu, nggak merasa bersalah sedikit pun. Malahan aku terlihat nantangin guru yang mergokin dan pasang muka ketus. 

Sampai di saat aku kelas 11 semester 2 dan wali kelasku guru BK. Di kelasku ada yang ketahuan menyontek pakai HP ketika UTS. Saat itu, aku udah mulai jarang nyontek karena mau agak bener aja jadi manusia. Dan kasus itu ada seorang murid yang melapor. Sekelas disidak. Nggak dibentak-bentak sih, tapi justru itu yang bikin aku seketika merasa terketuk. Kurang lebih guruku bilang untuk percaya dan mengandalkan diri sendiri karena orang lain belum tentu benar. Sebenarnya petuah itu udah sering banget aku dengar dulu, tapi baru kali itu rasanya bisa aku cerna dengan baik.
Di akhir, guruku bilang untuk kami semua berjanji ke diri sendiri untuk nggak menyontek. Sadar nggak sadar aku seperti berjanji atau memang udah berjanji untuk berhenti menyontek.

Kalau dipikir-pikir selama ini aku memang skeptis sama orang lain dan udah mengandalkan diri gue sendiri. Tapi, di dalam keburukan. Aku mengandalkan diriku untuk menyontek, bikin strategi sendiri, ketimbang usaha seperti dulu belajar dan mempersiapkan diri untuk ulangan. Dari situ, setiap aku mau menyontek karena aku tahu aku nggak belajar dan nggak tahu apa jawabannya, diriku seakan-akan mengingatkan, "Lu itu kan diberi otak juga, semua manusia punya otak yang sama." 

Albert Einstain sebegitu geniusnya aja cuma menggunakan 2% kemampuan otaknya. Gimana dengan aku yang nggak menyandang gelar genius ini, berarti aku cuma menggunakan otakku 0,000000 nol-nol satu sekian. Berarti aku menyia-nyiakan pemberian Tuhan dan organku sendiri.

Sekitar semester lalu, setelah bertahun-tahun aku menyontek lagi karena saat itu aku ambil kerja part time dan capek banget rasanya nggak punya waktu untuk belajar. Rasanya berdosa banget. Kayak habis melakukan dosa besar. Aku ingkar ke diriku sendiri dan nggak mempercayai kemampuanku. 
Sepanjang koridor aku merasa bersalah dan bertekad nggak mengulangi lagi.

Rasanya aneh melakukan hal yang udah lama sekali nggak aku lakukan, terlebih itu hal buruk.



Di tengah malam yang lengang dengan hati yang tak berisikan, aku menjentikkan jemari ini untuk menulis surat, sedikitnya berisi mengenai apa yang kurasa pada tahun ini, bahkan apa yang tak berhasil aku rasakan. Aku mencoba berbicara kepadaku melalui sebuah surat yang mungkin akan mengingatkanku di waktu yang akan datang: apa-apa saja yang sudah tertinggal dan tergantikan, apa-apa saja yang membiru dan membaru.


Apa kabar?

adalah bentuk pertanyaan sederhana yang paling tidak bisa kaujawab dengan jujur. Sebuah tanya 'apa kabar' seperti memiliki magnet kata 'baik' yang mesti kau jadikan jawaban, tidak peduli bagaimana kondisimu saat itu. 

Apa kabar diriku? Mengapa tak kunjung jujur pada dirimu, pada hatimu, pada ibu jarimu, pada apapun yang menjadikanmu utuh sebagai sebuah tubuh? Sebagai seorang manusia?

Kini kau tahu menjadi manusia setiap harinya tak pernah mudah dan meringan. Kesulitan dan keberatan akan menimpa punggungmu yang telah bungkuk di usia muda. Sejak usia kanak-kanak. Namun dengan adanya angka yang bertambah setiap tahunnya dan belum tertuliskan di nisan, dengan adanya lilin yang masih kau tiup setiap tahunnya, dengan adanya kue keju yang masih kau makan setiap tahunnya, dengan adanya surat dari ibu yang kau baca setiap tahunnya, dengan adanya kado yang kau terima setiap tahunnya, menandakan betapa semakin kokohnya punggung dan bahumu, betapa semakin lapangnya dadamu, betapa semakin ajeknya kakimu, betapa semakin arifnya jiwamu, betapa semakin kuatnya dirimu memilih bertahan di tengah terpaan yang selalu saja mampir.

Untuk diriku, jiwa yang belum bisa disebut pasti seperti apa bentuknya, jiwa yang selalu samar ketika hendak dipotret, jiwa yang selalu berganti-ganti setiap hari, setiap pekan, dan setiap bulan. Maaf aku kerap menggantimu dengan jiwa orang lain yang aku tidak kenal, yang aku idam-idamkan. Kupikir menjadi mereka mengasyikkan, kupikir menjadi apa yang aku mau begitu memuaskan. Rupanya tidak. Namun terima kasih, untuk jiwa yang terus mencari jati dirinya, jiwa yang selalu berusaha pulang setelah melalui perjalanan panjang, jiwa yang tak ingin kehilangan keasliannya, karena itu yang tidak akan pernah bisa ditiru.

Untuk diriku, raga yang kerap kehilangan minat pada apa yang sebelumnya melekat, raga yang kerap bermalas-malas membaca lembar buku, raga yang kerap takut terlibat interaksi dengan orang-orang. Maaf aku masih sering kalah dengan semua rasa itu, masih belum bisa merangkulnya dan tetap berusaha melawan dan tak menjadikannya teman. Namun terima kasih, untuk raga yang bergegas bangkit ketika tahu telah menghabiskan banyak waktu dengan kesia-siaan, raga yang mencicil huruf-huruf di lembar-lembar kertas untuk dilahap habis, raga yang membalas pesan dengan gurauan-gurauan natural, karena tanpa itu semua tidak akan terjadi apa-apa.

Untuk diriku, pikiran yang tak terkendali melayang-layang jauh ke suatu tempat yang tak seharusnya, pikiran yang mengandai-andai sesuatu di belakang bisa kubelokkan untuk menghindari hari ini. Maaf bayang-bayangku masih tertinggal di sana dengan separuh hati yang tergeletak seluruhnya retak, masih sulit bagiku memaafkan sepenuh hati karena memang aku tak memiliki hati yang penuh dan utuh. Namun terima kasih, untuk pikiran yang tak egois yang tak hanya menampilkan sisi negatif dan turut membeberkan sisi positif, pikiran yang menyaring segala yang kulihat dan kudengar untuk menjadi sesuatu yang matang dan kujadikan nalar, pikiran yang selalu mau menemukan sisi baik dari segala hal, karena itulah yang membuatmu sesungguhnya menjadi tenang.

Untuk diriku, hati yang tak merasakan apa-apa, hati yang tak tahu kecewa atau tidak, senang atau tidak, marah atau tidak, gelisah atu tidak, bahagia atau tidak, hati yang sulit dijabarkan apa kondisinya, hati yang masih banyak lebam di sana. Maaf aku jarang mendengarkan keluh kesahmu, aku jarang mendengarkan apa maumu, aku belum pandai membaca arti dan menemukan nama rasa yang cocok untuk apa yang kau rasa. Namun terima kasih, untuk hati yang tetap kelihatan tenang, hati yang tak menghalau kekeruhan dan menimpa dengan air yang jernih, hati yang berusaha memberikan cinta dan mengembalikan cinta di tengah-tengah luka yang masih menganga, karena tanpa cinta mati sudah empati dan simpati terhadap sesama.


Mungkin banyak yang tak terungkapkan, yang masih menjadi residu di aspek-aspek tertentu. Setidaknya, aku bisa mengucapkan itu kepada diriku atas ketidakjelasan yang masih menyangkut di relung. 

Segala sesuatunya penting untuk dijadikan sebuah pelajaran dan pengalaman. 

Semoga kau tidak lelah dengan pengalaman dan pelajaran yang tak melulu indah dan mengasyikkan. Namun, kau jadi banyak tahu bagaimana caranya mengatasi sesuatu, di depan sana.


Terkasih,


dirku.

 

Newer Posts
Older Posts

Pemilik Ruang


Halo, selamat datang di Ruang Tenang! Senang mengetahuimu mengunjungi ruanganku, tempat aku melarikan diri dari kegaduhan dunia. Di sini kau akan bertemu sekat-sekat ruang dalam kepalaku yang begitu sesak menjadi untaian kata-kata.

Mari Berteman

Labels

Berdikari Jurnal Karya Teman Hidup

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2021 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ▼  2020 (11)
    • ►  Desember (3)
    • ▼  September (2)
      • Berhenti Menyontek
      • Surat Untuk Diriku (2020)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)


FOLLOW ME @INSTAGRAM





Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates